AKU TIDAK BERBEDA
jangan acuhkan aku, aku bukan patung
jangan hinakan aku, aku bukan najis
jangan hindari aku, aku bukan penyakit menular
dekap aku
usap lembut aku
beri aku semangat
katakan padaku,
"kamu tidak berbeda. kamu istimewa"
maka aku akan tersenyum
berlari menyambut mentari
semarang, 17 nov 2014
Note: puisi terlahir kurang dari 5 menit, teruntuk anak-anakku tetap semangat, percayalah bahwa kalian istimewa (siswa siswi SLB Widya Bhakti). Terimakasih juga untuk anak kebanggaanku Fatinsa Burhanudin yang sudah membawakan puisi ini di perayaan Hari Disabilitas Nasional sehingga meraih juara harapan II, Bu Ria sayang sama Hanu :)
Selasa, 09 Desember 2014
mini puisi
ANGIN
hembusan angin ini
menghadirkan aroma yang berbeda dari hari kemarin
seolah berbisik tentang cerita pilu di masa lalu
demak, 9 des 2014
TARIAN HUJAN
tetes hujan yang jatuh menyentuh tanah
begitu riang berlompatan
mengulurkan tangannya
mengajakku menari bersamanya
dan berlagu tentang cinta
demak, 9 des 2014
hembusan angin ini
menghadirkan aroma yang berbeda dari hari kemarin
seolah berbisik tentang cerita pilu di masa lalu
demak, 9 des 2014
TARIAN HUJAN
tetes hujan yang jatuh menyentuh tanah
begitu riang berlompatan
mengulurkan tangannya
mengajakku menari bersamanya
dan berlagu tentang cinta
demak, 9 des 2014
Minggu, 16 November 2014
Because of Your Sister
BECAUSE OF YOUR SISTER
Ku rebahkan tubuhku begitu aku telah sampai di kamarku.
“Capek, Sayang?” Tanya Mama lembut kepadaku.
“Iya, Ma, tapi nggak papa kok. Capeknya itu capek seneng”
Aku bagun dari tidurku, duduk untuk bisa memeluk manja Mamaku.
Mama membelai lembut kepalaku, “Apapun yang membuatmu
bahagia, Mama pasti ikut bahagia”.
“Terimakasih, Ma” Aku mencium lembut pipi Mama dan memperat
pelukanku.
Bahagianya aku memiliki orangtua
yang begitu menyayangiku, meskipun hidup kami sederhana tapi rumah kami kaya
akan cinta.
“Bu Priya, selamat pagi, Bu” Sapa seorang lelaki dari
belakangku.
Aku membalikkan badan, “Selamat pagi juga, Pak Amin”
kemudian aku menyalaminya.
“Maaf, Bu. Bisa bantu saya membujuk Mita biar mau turun
mobil dan bersekolah?” Pinta Pak Amin, sopir Mita, muridku.
“Baik Pak, mari” Aku mengikuti Pak Amin dari belakang.
Sampai di dekat mobil Mita, aku melihat dia tengah sibuk
memainkan gadgetnya. Sesekali dia menangis, kemudia tersenyum kecil. Sengaja
aku tidak langsung membujuknya, aku harus menentukan langkah tepat untuk bisa
membujuk Mita agar dia tidak semakin marah.
“Mita, Sayang, kamu lagi apa?” Aku mengawali bujukanku
dengan obrolan. Dan Mita hanya diam saja.
“Hmm.. Sedihnya Bu Priya nggak dapat jawaban dari Mita,
padahal Bu Priya pengen temenan sama Mita” Aku menampilkan raut muka sedih.
“Bu Priya nggak boleh nangis, Mita nggak suka lihat orang
nangis. Mita benci nangis” Mita sudah mau membuka suara.
“Kalau Mita nggak suka lihat orang nangis kenapa Mita
sendiri sedih? Kenapa Mita nggak mau sekolah?” Tanyaku halus pada Mita.
“Mita kangen sama Papa sama Mama, kenapa Papa sama Mama
perginya lama banget Bu? Kenapa Papa sama Mama nggak pulang-pulang? Emang Papa
sama Mama nggak kangen sama Mita sama Kak Ali?” Mita mulai menangis di
dekapanku.
Lebih dari 30 menit aku membujuknya, aku biarkan dia
menceritakan kesedihannya. Aku biarkan dia menangis dan mencurahkan segala rasa
sakitnya, rasa rindunya kepa kedua orangtuanya. Aku ikut berpikir, bagaimana
caranya menjelaskan pada Mita bahwa orangtuanya telah meninggal, agar dia tidak
terus menunggu kepulangan orangtuanya. Bagaimana membuat dia yakin bahwa
orangtuanya tak mungkin bisa lagi hadir secara dalam hari-harinya.
Aku hanya sanggup memeluknya erat, entah kenapa aku merasa
begitu dekat dengannya. Sampai pada tangisnya berhenti dan dia mau untuk masuk
sekolah.
“Anak-anak, anak-anak tahu surga nggak?” Tanyaku pada
seluruh siswa di kelasku.
“Tauuuu. Saya tidak tahu. Apa itu surga?” Berbagai macam
jawaban dari mulut siswa-siswaku membuatku tersenyum.
Ya, aku memang seorang guru di
Sekolah Luar Biasa. Setiap hari aku berhadapan dengan anak-anak tunagrahita
sedang. Tidak, jangan pernah bilang mereka idiot, mereka tidak idiot, justru
mereka spesial. Bersama mereka, aku menemukan kejujuran, kepolosan. Sehausnya
begitulah hidup. Bukan sandiwara belaka, bukan cerita yang kita reka, tapi apa
adanya.
Seperti biasa, sepulang sekolah aku menemani Mita hingga
jemputannya datang. Mita terus bercerita tentang kakak lelakinya, betapa dia bangga dan
bahagia memiliki kakak yang selalu menyayanginya tulus. Sebenarnya Mita itu
seumuran denganku, hanya karena dia tunagrahita, makanya dia masih terlihat
seperti anak kecil dalam bertingkah. Akhirnya, jemputan Mita datang. Tapi..
“Maaf, Bu, saya terlambat menjemput Mita” Kata lelaki itu
sembari menjabat tanganku.
“Anda?” Tanyaku penasaran.
“Oh iya, maaf, saya Ali. Kakaknya Mita, Pak Amin harus
pulang kampung karena katanya istrinya masuk Rumah Sakit” Lelaki yang ternyata
kakaknya Mita tadi menjelaskan.
“Oh, maaf, saya hanya takut kalau-kalau..” Ucapanku
terpotong.
“Tidak apa-apa. Wajar kok, Anda mungkin takut saya adalah..”
Ganti aku yang memotong kalimatnya karena aku malu sudah menduganya yang
bukan-bukan.
Ali sempat menawarkan untuk mengantarkanku pulang, tapi aku
menolaknya Karena aku membawa kendaraan sendiri.
Setelah pertemuan itu, entah kenapa sering aku bermimpi
tentang Ali. Apa aku jatuh cinta? Ah, sudahlah. Sebaiknya aku lupakan rasa itu.
Karena tidak mungkin aku pantas bersanding dengannya.
Aku mendengar lagu Need You Know milik Lady Antebellum
berdendang, pertanda ada telpon masuk di handphone-ku.
“Siapa sepagi ini meneleponku” Batinku yang tengah
mengeringkan rambut.
Tercantum nomor tanpa nama, “Halo, selamat pagi” Sapaku
lembut.
“Selamat pagi, apa benar ini Bu Priya?” Tanya sana penelepon
sopan.
“Iya benar, maaf ini siapa?” Tanyaku balik.
“Saya Ali, Bu” Jawaban dari seberang telepon itu membuat
detak jantungku berhenti seketika, “Halo.. Halo.. Bu Priya, apa Anda mendengar
suara saya? Apakah saya telah mengganggu Anda?” Aku tak sadar jika aku melamun,
dan suara di sana terus memanggil untuk menyadarkanku.
“Oh,maaf Pak. Tadi saya..” Kalimatku terpotong.
“Bu Priya, jangan panggil saya Pak, panggil nama saja” pinta
Ali sambil tertawa pelan.
“Tapi, tidak enak Pak. Kan Anda wali dari murid saya” Aku
menjelaskan pada Ali.
“Kalau di lingkungan sekolah saya setuju Anda memanggil saya
dengan sebutan Bapak, tapi saya mohon ketika di luar itu panggil saja saya Ali.
Bagaimana?” Ali menawarkan perjanjian.
Obrolan kami yang sudah
melenceng jauh itu kembali aku luruskan. Kenapa sampai sepagi tiu dia harus
meneleponku. Dan telepon di pagi itu adalah awal dari kedekatan kami. Tak salah
jika aku mengagumi sosoknya, Ali, lelaki 26 tahun, seorang pengusaha muda
dengan fisik yang bisa dikatakan sempurna, wajah tampan blasteran
Indonesia-Yaman, tubuh tinggi atletis, namun dengan kesempurnaan fisik yang dia miliki, dia tak pernah malu mengakui
bahwa dia memiki seorang adik tunagrahita, sopan dan halus tutur bicaranya, dia
begitu rendah hati, dermawan, yah sempurna, hanya satu kata itu yang tepat
untuk menggambarkan bagaimana sosok Ali.
“Terimakasih, Priya” Kata Ali setelah kami mendapatkan
tempat duduk.
“Sama-sama Ali, aku seneng kok bisa nemenin kamu sama Mita
jalan-jalan” Jawabku sambil tersenyum dan memandang teduh Ali.
“Aku senang bisa dekat sama kamu, aku senang karena kamu
bisa akrab dengan Mita. Jujur, begitu banyak wanita yang ingin dekat denganku,
tapi aku tahu apa maksud mereka dan mereka belum tentu bisa nerima keberadaan
Mita, buat aku, kenyamanan Mita dengan perempuan yang akan mendampingiku nanti
lebih dari apapun” Ungkap Ali panjang lebar dan aku tak menangkap maksudnya.
“Mita dan teman-temannya itu spesial menurutku dan entah
kenapa aku begitu mudahnya dekat dengan Mita dari sejak pertama aku masuk ke
SLB itu. Aku senang mendengar ceritanya tentang keluarganya, aku seperti
ngerasain sakit hatinya waktu dia ingat kedua orangtuanya, dan aku bangga
ketika dia bercerita tentang kakaknya yang begitu menyayanginya” Kataku jujur
sambil merapikan makanan Mita yang tercecer.
“Dan bagaimana setelah kamu tahu bahwa kakaknya Mita itu
adalah aku?” Tanya Ali membuatku salah tingkah.
“Ah..ya itu, aku” Aku bingung harus menjawab apa, “Aku,
maksudnya ya berarti benar apa yang dikatakan Mita tentang kamu” Sambil
menenangkan perasaanku sendiri.
Kami melanjutkan acara kami hari itu ke danau dekat dengan
bumi perkemahan, aku berkejaran dengan Mita dan Ali hanya memperhatikan kami dengan
terus tersenyum. Aku gemas melihatnya, maka ku tarik dia untuk ikut aku dan
Mita berkejaran. Aku dan Ali mengejar Mita, lucu melihat tingkahnya yang polos
dan mirip sekali dengan anak kecil. Tanpa sengaja aku dan Ali bersamaan
menangkap Mita sehingga kami nyaris berpelukan dengan posisi Mita berada di
antara kami.
“Ya Tuhan, alihkan aku dari matanya. Betapa aku
mengaguminya, bukan, aku bukan sekedar mengaguminya, bahkan aku mencintainya”
Gumamku saat aku beradu pandang dengan Ali.
“Menikahlah denganku” Ungkap Ali dalam dan lirih namun
terdengar jelas olehku.
“A..apa?” Kataku tak percaya akan pernyataannya.
“Aku mohon padamu, menikahlah denganku, Priya” Ali
mengulangi penyataannya sambil menggenggam erat tanganku kini.
“Tapi, kita..” Aku bahagia tapi juga bingung.
“Priya, jujur, aku belum pernah mengenal yang namanya
pacaran dan aku merasakan benar-benar jatuh cinta adalah sejak bertemu sama
kamu, aku bukan tipe orang yang suka mempermainkan perempuan, aku ingin sekali
seumur hidup dan sekarang aku menemukanmu, aku tak ingin menyiakanmu. Sekali
lagi, Priya, aku mohon menikahlah denganku” Ali kembali mengulang pernyataannya
masih dengan menggenggam erat tanganku dan tatapan teduhnya.
Aku perhatikan Mita yang tengah asyik bermain dengan
bonekanya di rerumputan. Aku tersenyum melihatnya, aku begitu menyayanginya.
Inikah arti dari betapa emosionilnya aku terhadap segala perasaannya? Bahwa
kami…
“Aku bersedia” Aku menjawab pernyataan Ali dengan linangan
air mata haru.
Ali langsung mendekapku dalam pelukan hangatnya. Betapa
damai, betapa teduh, betapa tenang dan nyaman ketika aku dalam rengkuhannya
saat ini. Di tengah pelukan kami tiba-tiba datang Mita yang turut memeluk kami
sambil dia tertawa senang.
TAMAT
Kita dalam Opera
Kita dalam Opera
Kita
seperti pemain dalam suatu panggung opera
Memerankan
segalanya harus tanpa cela
Sempurna
itu wajib
Penilaian,
cibiran, kritikan akan selalu muncul selama jalannya pementasan
Tapi
standing applaus akan muncul saat drama berakhir
Aku,
kamu, ku pinta kita jangan pernah perdulikan mereka saat kita berperan
Jangan
dengarkan mereka yang sanggup memecah konsentrasi kita dalam opera ini
Berperanlah
dengan hati
Tutup
telinga sepanjang pementasan
Lakukan
yang terbaik
Tunggu dan saksikan mereka memberikan standing
applaus untuk kita
Selasa, 11 November 2014
cerpen - Gadis Senja
GADIS SENJA
Sore hari itu aku putuskan untuk hunting foto di pantai, ku
manfaatkan masa liburanku ini sebaik mungkin. Ku arahkan kameraku ke view-view
yang terlihat cantik di senja itu. Sampai akhirnya kameraku berhenti pada sosok
gadis yang tengah berdiri sendiri di bibir pantai, dia seperti tengah menikmati
senja yang sebentar lagi habis terganti oleh malam.
Ku bidik sosok gadis itu dengan kameraku. Pas sekali
posisinya dan sangat natural menyatu dengan kondisi. Seperti menggambarkan
bahwa Sang Gadis teramat takut kehilangan senja, takut senja tak akan kembali
esok hari. Ku lihat hasil jepretanku dan sosok gadis itulah yang paling
sempurna dibandingkan dengan hasil jepretanku yang lainnya sore itu.
“Cara gadis itu menikmati senja, seperti hendak bercerita
sesuatu. Saat matahari benar-benar akan tenggelam dengan jelas ku lihat gadis
itu seperti ingin meraih dan memanggil sang nirwana agar ia ak tenggelam, takut
untuk kehilangan senja itu. Siapa sebenarnya gadis itu?” aku bergumam
penasaran.
Kriiiiiiing…kriiiiiiiiiing…
“Ya halo??” kuangkat telepon itu dengan malas.
“Bian, kamu di mana sih Nak sebenarnya?” terselip isak tangis
pula dari pertanyaan itu.
“Bian aman kok Mam, Bian nggak macem-macem” jawabku singkat.
“Kamu kenapa harus pergi seperti ini sih? Apa sulitnya kamu
penuhin keinginan Mami sama Papi?” semakin keras saja ibuku menangis.
“Mam, kalau Mami telepon Bian Cuma buat bahas perjodohan itu
lebih baik Mami tutup teleponnya sekarang atau Bian nggak akan pernah angkat
telepon dari Mami lagi” ancamku pada ibuku.
Ya, alasanku bisa sampai di sini adalah karena aku melarikan
diri dari perjodohan. Orangtuaku berniat menjodohkanku dengan anak sahabatnya,
menurut info dari orangtuaku gadis itu manis, mandiri, dan bernama Azana, biasa
dipanggil Ay. Tapi deskripsi dari orangtuaku belum mampu membuatku tertarik.
Sore hari itu ku putuskan untuk ke pantai itu lagi, dan benar
saja. Ku temukan lagi gadis itu tengah berdiri di bibir pantai menikmati senja.
Kini tak ingin ku sia-siakan kesempatan ini untuk kenal dengannya. Sengaja aku
memotretnya dari dekat agar ada alasan untukku dekat padanya.
“Ah..” gadis itu kaget sepertinya, terlihat dari refleknya
dia menutupi wajahnya dengan kedua tangannya ketika blitz kameraku menyilaukan
pandangannya.
“Maaf..terlalu dekat ya?”modusku kurang tepat sepertinya.
“Kamu motret aku? Buat apa?” Tanya gadis itu polos.
“Kemarin dan hari ini aku melihatmu menikmati senja, seperti
ada yang ingin kamu ceritakan tentang senja tapi kamu nggak bisa ungkapin itu,
makanya kamu pendam sendiri. Eh..maaf kalau lancang” aku merasa tidak enak hati
karena seperti sok tahu tentang kehidupannya.
“Iya, kamu bener. Aku suka sekali senja, aku sering takut
kalau senja pergi. Aku takut senja nggak akan kembali lagi esok” lalu gadis itu
tersenyum
“Apa boleh aku tahu nama kamu? Aku Bian” aku menjulurkan
tangan padanya.
“Naya, Kanaya lengkapnya” jawabnya menyambut uluran tanganku.
“Apa boleh kalau kamu jadi modelku? Kapan kita bisa ketemu
lagi?” tanyaku to the point.
“Saat senja, saat cerah. Di sini. Aku selalu di sini” jawab
Naya lembut.
Sejak perkenalan itu kami semakin
akrab dan semakin akrab. Hingga tanpa kusadari telah tumbuh cinta di hatiku
untuk gadis itu, Naya.
Senja demi senja kami lewatin
bersama-sama. Dia begitu senang dan begitu menikmati setiap gayanya ketika aku
memotretnya. Natural dan tidak dibuat-buat. Raut wajahnya seperti bercerita
tanpa dia harus mengeluarkan suara. Dari kedekatan kami, sebenarnya ada hal
yang mengganjal dalam hatiku. Setiap aku ingin mengantarkannya pulang dia
selalu menolak, dia selalu beralasan ingin pulang sendiri saja.
Aku hargai keinginannya dan aku jaga
privasinya, hingga belum pernah terpikir olehku untuk mengikutinya ketika dia
pulang. Tapi suatu sore, tanpa sengaja aku melihatnya bertegur sapa dengan
ibu-ibu penjual souvenir di dekat pantai.
“Gue yakin sama apa yang gue rasain.
Gue cinta sama Naya” gumamku ketika ku rebahkan tubuhku di kasur. “Besok, akan
ku coba peruntunganku. Akan ku nyatakan cintaku, apapun hasilnya” ujarku
optimis.
“Hei Bung, sampai kapan lo mau ninggalin kantor?” cerocos
Vino, sahabat sekaligus partnerku.
“Sampai gue bisa bawa pulang Naya, bilang ke orangtua gue
kalau gue udah punya pilihan sendiri” jawabku.
“Gokiiiiiiiilllll…jadi beneran ketemu jodoh ni di sana?” Vino
mulai mengulik tentangku.
“Baru suka, belum bilang ke dia tentang perasaan gue. Dan gue
berencana besok mau ungkapin perasaan gue” ceritaku dengan sedikit rona malu.
Dan obrolan via teleponku dengan Vino
berakhir dengan doa dia untuk keberhasilanku mendapatkan hati Sang Gadis Senja,
Naya.
Cuaca cerah, semoga bertahan hingga
senja nanti. Karena aku berniat untuk menyatakan rasaku pada Gadis Senjaku. Dan
waktu yang kutunggu-tunggu datang, sore hari.
Segera ku bawa kameraku berlari, tak
lupa aku membeli bunga yang hendak ku serahkan pada Naya. Tapi sore itu tak
kutemui kehadiran Naya di sana, menunggu dan menunggu hingga senja benar-benar
ditelan malam masih tak ada tanda-tanda bahwa Naya akan datang.
“Mungkin dia sedang ada urusan dan esok senja akan hadir
lagi” gumamku.
Dan esok hari, saat senja masih saja
aku setia menanti Naya dan masih saja dia tak hadir di senja hari ini. Seperti
itulah yang terjadi di senja berikutnya, Naya masih juga tidak hadir. Tiba-tiba
aku teringat sesuatu, ya ibu-ibu yang pernah bertegur sapa dengan Naya.
Benar saja, senja itu ku temui
ibu-ibu itu ketika dia tengah membereskan barang dagangannya. Aku menunggunya
hingga dia benar-benar selesai berberes. Betapa terkejutnya aku dengan apa yang
diceritakan Ibu tadi.
“Memang yang kamu temui selama ini adalah Naya, tapi hanya
jiwanya tidak beserta raganya” jawaban singkat dari ibu pedagang itu sempat
membuatku terperangah tak percaya dalam satu hingga dua menit.
“Nggak mungkin Bu, saya punya foto-fotonya. Saya bisa
tunjukkan pada Ibu” betapa terkejutnya aku ketika kubuka file-file di kameraku
yang harusnya ada Naya di situ menjadi hanya berupa view.
“Mari ikut saya, saya tunjukkan rumah Naya padamu, Nak” ibu
itu menawarkan diri untuk mengantarku ke rumah Naya.
“Baik Bu” dan aku mengikuti ibu itu.
Tidak terlalu jauh jarak rumah Naya
dengan pantai. Hanya perlu 45 menit berjalan kaki, sebuah perumahan yang asri
dan ramah. Aku berdiri tepat di depan rumah Naya yang malam itu terlihat ramai,
aku penasaran dan aku masuk ke gerbang. Ku beranikan diri untuk menyapa salah
seorang di sana untuk sekedar bertanya benarkah ini rumah Kanaya.
“Permisi, Pak, apa benar ini rumah Naya? Maksud saya Kanaya”
tanyaku to the point kepada seorang lelaki berpostur tinggi yang mengenakan pakaian
serba hitam dan sedang menyalami tamu-tamu yang hadir.
“Iya benar, adik ini siapa?” Tanya laki-laki itu penasaran
karena mungkin baru pertama kali melihatku.
“Saya Bian, Fabian, temannya Naya, Pak”
Tiba-tiba laki-laki itu memelukku dan terisak “Ikhlaskanlah
Nak, Naya sudah pergi, mungkin ini yang terbaik baginya setelah koma selama 2
bulan ini”
“Naya?koma?karena apa?” tanyaku seakan aku masih tidak
percaya.
“2 bulan yang lalu, Naya mengalami kecelakaan cukup hebat
ketika dia pulang dari lokasi pemotretan. Jalanan yang dilaluinya licin setelah
hujan, dia tidak bisa mengendalikan laju mobilnya. Sehingga terjadilah
kecelakaan itu yang menyebabkan patahnya tulang belakang Naya dan pembengkakan
pada jantungnya karena benturan keras di dada kirinya. Sejak itulah Naya koma
dan sampai dia mendapatkan jalan terbaiknya hari ini” laki-laki yang ternyata
adalah Pamannya Naya menjelaskan padaku kronologi kecelakaan Naya.
Aku mendekati jasad Naya, aku melihatnya benar-benar dekat
dan aku melihatnya tersenyum. “Naya senang berkenalan denganmu, Gadis Senjaku”
ucapku lirih.
Percayalah Naya, senja yang berlalu pada hari ini akan hadir
lagi esok. Jangan takut lagi ketika senja itu berganti dengan malam dan bagiku
senja bukanlah masa lalu. Tapi senja adalah masa depan yang akan terus hadir
dengan warna dan cerita yang berbeda.
Selamat jalan Naya, Gadis Senjaku.
TAMAT
cerpen - Debar Cinta Mutiara
DEBAR CINTA MUTIARA
Mutiara, gadis berkerudung yang biasa dipanggil Muti oleh
teman-temannya adalah gadis alim yang aktif dalam kegiatan kerohanian Islam,
itu juga yang membuatnya terlibat aktif menjadi pengurus organisasi Rohis di
sekolahnya, sebuah SMA negeri di pinggiran kota Jakarta.
“Mutiiiiiii” Terdengar suara gadis berteriak memanggil Muti
dari belakang.
“Assalamu’alaikum, Luna” Sahut Muti lembut ketika gadis yang
memanggilnya tadi telah sampai di hadapannya.
Dan gadis itu nyengir menunjukkan deretan giginya yang rapi,
“ iya Bu Ustadzah maaf, gue ulangin deh. Assalamu’alaikum, Muti” timpal gadis
itu dengan tingkah yang dibuat seimut mungkin.
“Wa’alaikumsalam, Luna. Nah gitu dong..kenapa sih?sampe heboh
teriak gitu manggil aku?” Jawab Muti sambil tersenyum geli melihat tingkah
sahabatnya.
“Nggak papa, Cuma pengen manggil aja, biar lo mau berhenti
jadi kita bisa ke kelas bareng. Hahaha” jawab Luna dengan wajah tanpa dosa.
Yang digodain Cuma bisa pasang wajah cemberut.
Luna, gadis lincah dengan wajah manis dan suka bertingkah
heboh adalah sahabat Muti semenjak SD. Berkebalikan dengan Muti yang kalem,
tapi itulah yang membuat mereka saling melengkapi. Karena mereka bisa saling
menghargai sikap masing-masing. Luna tidak berkerudung tapi Muti bisa
menghargai itu, tak pernah Muti memaksa Luna untuk berkerudung seperti dirinya.
Hari-hari mereka dilalui dengan penuh
warna, tapi tak pernah sekalipun mereka saling mendiamkan. Saat ada masalah
mereka selalu langsung menyelesaikannya.
Brukkk
“Innalillahi..maaf..maaf..aku nggak sengaja” ucap Muti merasa
bersalah.
“Lo piker gue mati lo ucapin Innalillahi??” yang ditabrak
menjawab sewot.
“Kalo kena musibah kan emang harus ngucapin itu, nggak ada
maksud buat ngucapin itu ke kamu juga kan..” penjelasan Muti terpotong.
“Ssstt…gue nggak butuh ceramah dari lo” masih dengan nada
sewot.
“Aku kan udah minta maaf..kan nggak sengaja” masih dengan
nada lembutnya.
“Yaudah sana..sana..” usir laki-laki itu dengan jengkel.
Setelah Muti meninggalkan laki-laki itu di tempatnya berdiri,
laki-laki itu pun meninggalkan tempatnya bertabrakan dengan Muti tadi sambil
menggerutu.
“Ngerusak mood gue aja tu cewek.
Emang masih jaman ya cewek pake krudung terus rok sama baju longgar gitu?
Jangan-jangan termasuk dalam jaringan teroris lagi dia? Nggak mungkin deh
kayaknya..kan dia nggak nutupin wajahnya atau mungkin dia anak teroris terus…
eh, gue apaan sih?kenapa malah penasaran sama tu cewek. Tapi emang manis sih, cuma
gue ngga suka sama penampilannya, kayak ibu-ibu. Tuh kan jadi bahas dia lagi.
Aaargh..” Gerutu Rico sepanjang perjalanan menuju kelas.
Brak..Rico menendang kursi yang
menghalangi jalannya saat dia tiba di kelas. Menduduki kursinya sambil terus
mendengus dan menggerutu.
“Kenapa sih lo, Co?datang-datang maen nendang kursi ngedumel
nggak karuan gitu” Tanya Ibas sahabat Rico.
“Sial banget gue hari ini, udah tadi dipanggil BK, kena marah
juga sama guru BK, mau balik ke kelas ditabrak sama cewek aneh eh diceramahin
lagi sama dia pas dia gue semprot,lebih parahnya lagi gue didoain meninggal,
gila ngga lo?” Cerosos Rico.
“Serius? Lo didoain mati ama tu cewek? Siapa tu cewek? Berani
amat sama Lo?” Tanya Ibas kini terlihat antusias.
“Cewek sok alim yang aktif banget di kegiatan keagamaan itu.
Yang kalo pake baju kelonggaran kayak emak-emak” jawab Rico sewot.
“Muti maksud lo? Mana mungkin dia doain lo mati, ada-ada aja
lo. Cewek manis, alim, lembut gitu lo kata aneh. Lo tu yang aneh” Kali ini Ibas
tidak setuju dengan sahabatnya.
Ketidak setujuan Ibas membuat mood Rico semakin buruk.
Saat perjalanan pulang sekolah Rico terpikir oleh ucapan Ibas
tentang gadis berkerudung itu. Sepanjang perjalanan dia membatin tentang gadis
itu. Tidak dipungkiri memang apa yang dikatakan Ibas benar bahwa Muti itu gadis
yang manis, bukan hanya secara fisik tapi tingkah lakunya dan tutur bicaranya.
Saat Rico membentak Muti tadi pun tak sedikit pun Muti menunjukkan rona marah,
bahkan bila dipikir yang bersalah di adegan tabrakan tadi bukan Muti tapi dia
sendiri yang berjalan dengan emosi tapi justru Muti yang minta maaf.
Ciiiiiiiittttt…
“Sial!!nyaris saja” gumam Rico saat dia tersadar dari
lamunannya bahwa dia hendak menabrak seseorang.
“Kamu??” gadis itu kaget ketika tahu bahwa yang hendak
menabraknya adalah teman satu sekolahnya.
“Lo lagi? Ngapain sih lo ngalangin jalan gue?” samber Rico
dengan pertanyaan yang tidak masuk akal karena saking emosi dan bingungnya dia.
“Kok malah kamu nyalahin aku? Kan kamu yang meleng? Aku juga
kan nyebrang jalan, bukan Cuma hari ini aja juga, tiap hari aku nyebrang jalan
ini karena emang rumah aku ada di seberang sana. Salah bukannya minta maaf
malah marah-marah”Jelas Muti halus.
Berasa malu dan memang dia bersalah, Rico pun minta maaf
dengan gaya gengsinya. Tidak mau memperpanjang masalah Muti memaafkannya lalu
pamit untuk pulang.
Sementara Rico masih mematung di
pinggir jalan tadi sambil memperhatikan Muti berjalan hingga hilang di tikungan
masuk ke gang arah rumahnya.
Sepertinya keadaan sering membuat Rico dan Muti bertemu
secara tidak sengaja dan dalam situasi yang sering membuat mereka salah
tingkah. Seperti halnya hari ini, sekalipun hari libur. Secara tidak sengaja
mereka bertemu di toko buku.
“Mbak, nggak mungkin kartu kredit saya nggak bisa dipake”
debat Rico saat di kasir di toko buku tersebut.
“Tapi mas, kenyataannya seperti itu. Tidak bisa digunakan
karena telah diblokir” tegas kasir itu lagi.
“Pasti Papa” gumam Rico.
“Sekalian dengan ini saja, Mbak” timpal seorang gadis.
Rico kaget, karena merasa kenal dengan suara itu. Dan saat
menoleh, benar saja tebakan Rico bahwa gadis itu adalah Muti.
“Lo?” reflek Rico memecah kekagetannya.
“Iya” jawab Muti sambil tersenyum.
Saat keduanya berjalan keluar, timbul rasa canggung pada
Rico. Dia jadi kikuk, tidak tahu apa yang harus dikatakannya pada Muti. Sampai
akhirnya ketika tiba di luar toko Rico mampu membuka mulutnya.
“Muti, ehm..thanks ya. Besok gue ganti duitnya” ujar Rico.
“Sama-sama Rico” Jawab Muti tanpa lupa memberikan senyum
manisnya. “Yaudah, aku pulang dulu ya. Assalamu’alaikum” Pamit Muti ke Rico
“Muti” Panggil Rico tiba-tiba saat Muti hendak
meninggalkannya.
Muti menghentikan langkahnya dan menoleh “Iya Rico? Ada apa
lagi?”
“Gue anterin lo pulang ya?” Tawar Rico dengan tidak yakin.
“Hmmm..” Muti pun ragu.
“Gue nggak pake motor kok. Gue bawa mobil jadi masih ada
jarak, lagi juga kan di jalan rame jadi nggak mungkin gue ngapa-ngapain lo”
Rico mencoba meyakinkan Muti.
“Baiklah, semoga ini bisa jadi awal perdamaian kita. Atau
mungkin kita bisa bersahabat” Jawab Muti sambil tersenyum manis.
Mereka berjalan beriringan menuju mobil Rico. Sepanjang
perjalanan pulang Rico mencuri-curi pandang ke Muti tanpa sepengetahuan Muti. Dan dia sadar bahwa ada
perasaan lain yang kini menggelayuti hatinya, perasaan yang belum pernah dia
rasakan sebelumnya pada perempuan mana pun. Dan ini yang dia sebut dengan jatuh
cinta. Cinta pertamanya, yang tidak pernah dia bayangkan bahwa dia akan jatuh
cinta pada gadis lugu dan kalem seperti Mutiara Annisa, gadis yang agamis, yang
sangat bertolak belakang dengan dirinya yang yah begitulah. Mana mungkin dia bisa
memikat hati Muti bila dia sendiri tahu bahwa jauh dari kata baik sebagai
seorang manusia.
Setiap harinya hanya diisi dengan bikin onar dan kenakalan
lainnya. Dia sendiri mulai berpikir kenapa dia jadi liar seperti itu semenjak
kepergian Mamanya. Kenapa dia harus mencari perhatian dari Papanya dan orang
lain dengan cara yang seperti itu. Dia mulai sadar bahwa caranya bukan
menjadikan dia diperhatikan tapi justru menjadikan dia semakin dijauhi oleh
banyak orang.
Bahkan kini Papanya tega memblokir
kartu kreditnya, dia sadar bahwa pasti banyak uang hasil keras Papanya yang
telah dia hamburkan. Untuk berfoya-foya, bahkan tidak hanya satu atau dua kali
dia gunakan uangnya itu untuk taruhan balapan liar.
“Rico..Rico..” Panggil Muti “Rico!” Panggil Muti sedikit
lebih keras.
Ciiiiiit..tanpa sadar Rico ngerem mendadak
“Aduh” Rintih Muti karena seatbeltnya mengencang saat dia
maju kedepan Karena Rico ngerem mendadak tadi
“Maaf.. Maaf.. Lo nggak papa kan? Sorry gue nggak sengaja,
gue kaget tadi denger lo manggil gue. Kenapa?” Rico merasa tidak enak pada
Muti.
“Nggak kok, aku nggak papa. Kamu sendiri kenapa kamu
ngelamun?” sahut Muti.
“Nggak kok. Eh Muti, boleh nggak kalo kita mampir dulu ke
suatu tempat?” Tanya Rico.
“Mau kemana memangnya?” Tanya Muti hati-hati.
“Cuma ke taman di deket Balaikota kok. Gimana?” tawar Rico
lagi.
“Iya nggak papa” Muti menerima tawaran Rico dengan halus dan
senyum manis khas dirinya.
Tanpa disadari Rico membalas senyum Muti yang membuat Muti
menggumam bahwa Rico tidak sebrutal yang dilihatnya selama ini. Masih ada sisi
manis dan baiknya dalam diri Rico, buktinya hari ini dia bisa melihat senyum
tulus Rico dan bahasa bicara Rico yang tidak meledak-ledak.
Saat tiba di taman tak banyak yang
mereka obrolkan, justru lebih banyak diam. Tapi Rico sempat bercerita tentang
kondisi keluarganya pada Muti yang membuat Muti paham alasan Rico terkenal
brutal selama ini.
Sejak hari itu kedekatan Rico dan Muti semakin intens,
sehingga menimbulkan kecurigaan pada Luna. Akhirnya Luna memberanikan diri
untuk bertanya pada sahabatnya, ada apa sebenarnya antara Muti dan Rico.
“Alhamdulillah, selesai juga tugas kita” ujar Muti lega.
“Iya,akhirnya ya Mut.. Eh,boleh nggak gue nanya sesuatu sama
lo?” Sahut Luna yang dilanjutkan dengan pertanyaan.
“Iya Luna,nanya aja”
“Sebelumnya maaf ni ya kalo gangguin privasi lo, tapi gue
beneran kepo. Ya abis lo nggak pernah cerita sama gue sih, katanya sahabat tapi
ada rahasia besar lo diem aja sama gue.”
“Mau protes apa mau nanya? Kok panjangan protesnya?”
“Hahaha..iya ya? Ok.. Ok.. Gue mau nanya. Sebenarnya ada apa
sih antara lo sama Rico? Lo pacaran ya sama dia? Soalnya ni ya kalo gue perhatiin
semakin lama lo tu semakin akrab sama dia. Tapi gue juga aneh, kan lo pemegang
paham anti pacaran ya? Sekarang kok lo malah deket banget sama cowok tengil
yang dikenal paling bengal di sekolahan, nggak masuk akal aja gitu menurut gue.
Lo wajib buat jelasin ke gue, gue nggak perduli kalo lo nganggep gue terlalu
ganggu privasi lo tapi kan..” cerocosan Luna dipotong sama Muti.
“STOP!! Kalo kamu ngomong terus nah kapan aku ngomongnya? Kapan
aku jelasinnya?” potong Muti kalem.
“Hehehe” yang dipotong omongannya cuma nyengir kuda.
“Ini aku cerita cuma sama kamu ya?
Aku deket sama Rico karena aku tahu latar belakang Rico, kenapa Rico jadi
Bengal kayak gitu, tapi sebenrnya nggak gitu kok. Dia baik, dia care, dia sopan
banget,…..” Muti menjelaskan panjang lebar tentang kedekatannya dengan Rico
pada sahabat tersayang.
Tiba pada bulan ketiga dalam kedekatan Rico dan Muti. Pada
suatu kesempatan Rico mengajak Muti ke padang ilalang di suatu sore yang cerah.
Tanpa berpikir macam-macam Muti menerima ajakan Rico dan sesuai rencana, Rico
akan mengungkapkan perasaannya pada Muti. Dia telah siap dengan kemungkinan
terburuk, jawaban yang nggak pernah mau dia dengar dari Muti tapi paling tidak
dia telah mencoba.
“Mau ngomong apa sih? Kenapa harus kesini?” Buka Muti membuka
kesunyian setelah nyaris setengah jam mereka hanya diam sambil menikmati
pancaran matahari sore.
“Eh iya..malah keasyikan nikmatin suasana jadi lupa kalo tadi
kesini niatnya mau ngobrol sama kamu” Sahut Rico mencoba menghilangkan rasa
gugupnya.
“Kamu? Sejak kapan kamu berbahasa aku kamu? Tapi aku suka,
kamu jadi lebih kelihatan kalem” Jelas Muti sambil tanpa pernah melupakan
senyumnya.
”Aku pengen berubah Mut, kamu mau bantu aku nggak?” Ucap Rico
lirih dan tersenyum malu.
“Tentu aku mau bantu, Rico, aku seneng malah dengernya. Lagi
juga selama kita deket juga aku nggak pernah ngrasa kamu kasar kok. Kamu baik
lagi, tapi kalo kamu mau jadi yang lebih baik ya tentu aja aku dukung kamu”
Muti antusias akan keinginan Rico.
“Apa salah kalo perubahan aku itu didasari atas rasa cintaku
yang mulai tumbuh buat kamu?”
”Nggak salah kok Rico, tapi kamu jangan pernah berubah demi
aku atau orang lain. Aku maunya kamu berubah karena diri kamu sendiri” Muti
terkejut, mencoba menata kalimat jawabannya agar jawabannya tidak menyinggung
perasaan Rico.
“Aku tahu itu. Itu makanya aku ingin bener-bener berubah agar
aku merasa pantas untuk bersanding dengan kamu. Apa kamu mau mendampingi aku?
Melihat perubahanku? Hingga tiba saatnya nanti kita..” Kalimat Rico langsung
dipotong oleh Muti.
“Iya Co, aku mau. Aku akan selalu ada
buat kamu, buat dukung perubahanmu” Tersenyum melihat Rico.
Semenjak hari itu, banyak hari yang mereka lalui berdua. Rico
banyak belajar tentang agama pada Muti. Rico juga belajar untuk menjadi pribadi
yang lebih tenang, tidak selalu terbawa amarah, sudah jarang keluyuran malam.
Karena tiap malam selalu dia usahakan untuk berkumpul bersama Muti dan Luna
untuk menyeleseikan tugas sekolah dan memfasihkan gerakan juga bacaan
shalatnya.
Kedekatan Muti dan Rico pun mulai terdengar di anak-anak
Rohis, tidak terkecuali ketua Rohis. Dalam beberapa kali rapat Muti selalu
didiamkan oleh teman-teman dalam organisasi tersebut. Muti beberapa kali
bertanya pada temannya di organisasi tersebut tapi mereka justru meminta Muti
untuk merenungkan sendiri kesalahannya. Dan sampai pada akhirnya dia tahu apa
yang membuat dia dijauhin oleh teman-teman Rohis. Kini muncul dilema dalam diri
Muti, sementara niatnya untuk membantu Rico belum sepenuhnya terlaksana tapi
reaksi teman-teman Rohis sudah begitu hebat.
Bukannya Muti tidak ingin cerita pada teman-teman Rohis,
hanya saja Muti tidak ingin Rico merasa bahwa dia tidak tulus membantu, karena
bukan hal tidak mungkin akan sampai di telinga Rico bahwa Muti membantu Rico
atas nama Rohis. Muti tulus membantu perubahan Rico, dia ingin melihat Rico
seperti dulu. Dia ingin mewujudkan harapan Rico untuk bisa menjadi Rico yang
dulu, dia ingin membantu Papanya bangga lagi pada Rico akan
prestasi-prestasinya seperti dulu.
Dan dalam masa perubahan Rico, ternyata ada pihak yang hendak
memanfaatkan kelemahan Rico saat ini. Mereka tahu bahwa sekarang Rico tidak
lagi balapan liar, merasa dendamnya belum terbalas dia berniat untuk menantang
Rico dan beberapa rencana licik pun telah disiapkannya.
“Co,lo masih inget nggak sama Panca?” Tanya Ibas di waku
istirahat.
“Panca? Anak SMA swasta yang pernah gue kalahin balapan dulu
itu?” tebak Rico.
“Iya, dia nantangin lo lagi tu. Katanya mau balas dendam
karena kekalahannya dia dulu”.
“lo bilang aja sama dia kalo gue nolak tantangannya. Gue udah
nggak mau balapan-balapan gitu lagi. Gue udah janji sama diri gue sendiri kalo
gue nggak mau hal-hal buruk lagi”.
“Tapi Co..”
”Nggak ada tapi-tapian. Seklai gue bilang nggak ya nggak”
Memotong ucapan Ibas kemudian berlalu meninggalkan Ibas.
Tapi sebelum Rico jauh, Ibas mengejar Rico dan berbisik “Dia
ngancem kalo lo nolak akan terjadi apa-apa sama Muti”
Rico menghentikan langkahnya,”gue
terima tantangan dia”
Tak dipungkiri, muncul rasa bersalah dalam diri Rico karena
dia terpaksa menerima tantangan Panca untuk balapan, hanya karena dia tidak
ingin terjadi apa-apa pada Muti. Dia ingin selalu melindungi Muti.
Tapi di sisi lain, Muti pun mengalami dilema yang sama. Apa
yang harus dia jelaskan pada teman-teman Rohisnya. Dia hanya mampu menangis di
pelukan Luna sahabatnya, tak banyak yang bisa Luna lakukan kecuali meminta
sahabatnya untuk terus bersabar.
Tiba pada hari di mana Rico menerima tantangan dari Panca.
Tak pernah Rico bercerita tentang hal ini pada Muti karena ia tak ingin membuat
Muti kecewa, begitu pun Muti tak pernah bercerita pada Rico tentang apa yang
dialaminya karena Muti tak ingin membuat Rico kecewa dan mejauh darinya, hingga
bisa saja membuat Rico kembali pada pergaulannya dulu.
Hari di mana Rico menerima tantangan dari Panca ternyata juga
menjadi hari di mana Muti harus menjalani sidang bersama dengan ketua Rohis dan
pengurus Rohis yang lain.
“Muti, sekarang jelaskan kepada kami. Kenapa kamu menjalin
hubungan dengan laki-laki yang kamu sendiri paham bahwa dia bukan mahrammu?”
Tanya Fadlan sang ketua Rohis tanpa basa-basi.
“Maaf Kak, bukannya kita boleh berteman dengan siapa saja ya?
Saya juga tidak pernah menyatakan bahwa saya berpacaran dengan Rico karena saya
sadar bahwa dia bukan mahram saya. Itu kenapa setiap saya dan dia belajar
bersama saya selalu minta ditemani oleh Luna. Karena saya tidak ingin
menimbulkan fitnah” jawab Muti tegas sambil mencoba menjelaskan.
“Lalu kenapa sampai timbul gosip yang tidak mengenakkan
tentangmu hingga membawa-bawa nama Rohis, tidak akan ada asap jika tak ada api”
Tanya Fadlan lagi.
“Baiklah Kak, mungkin sebaiknya saya jujur agar masalah ini
tidak berlarut. Saya hanya mencoba membantu Rico berubah, Rico ingin menjadi
lebih baik dan kebetulan kami sering bertemu dengan tidak sengaja. Rico merasa
bahwa saya bisa membantunya, itu sebabnya saya menyanggupinya. Rico tidak ingin
dianggap cari perhatian itu makanya kenapa dia tidak ingin banyak orang tahu
apa yang menjadi keinginannya, karena semakin banyak yang tahu akan semakin
besar godaannya dan mungkin saja bisa membelokkan niatan awalnya dia. Hanya
sekedar itu Kak, saya tahu Kak, saya salah. Saya siap menerima hukuman dari
Kakak sebagai ketua dan pengurus yang lain. Saya minta maaf, tapi itu tidak
akan menyurutkan niat saya untuk terus membimbing Rico, maafkan saya yang keras
kepala Kak” jawab Muti sembari pasrah pada keputusan ketua Rohis.
Tiba-tiba Luna datang tanpa mengetuk pintu dan main masuk
ruang sidang begitu saja. Dengan nafas tersengal-sengal dia minta maaf pada
seluruh yang hadir pada sidang tersebut. Tanpa menunggu jawaban dari pengurus
Rohis, Luna langsung menarik tangan Muti dan meninggalkan ruang sidang.
“Luna, kamu apa-apaan sih. Sikap kamu ini bisa buat aku
dikeluarin dari Rohis, tadi baru saja aku mau dengar keputusan mereka tentang
nasib aku, tapi kamu malah…”ucapannya terpotong oleh Luna.
“Rico kecelakaan!” sergah Luna memotong perkataan Muti.
Menghentikan langkahnya. Berdiri mematung.
“A..apa? Apa kamu bilang Lun?” Tanya Muti tak percaya.
“Rico kecelakaan, tadi gue dikabarin sama Ibas. Karena
katanya HP lo nggak aktif” jelas Luna perlahan.
“Nggak mungkin.. Nggak mungkin.. Apa Rico bohong sama aku?
Bilang sama aku Lun, kalo Rico kecelakaan bukan karena dia ikut balapan liar”
Tanya Muti berderai air mata.
“Kalo itu gue masih belum tahu Mut, sebaiknya sekarang kita
ke RS. Katanya kondisi Rico lumayan parah” jawab Luna sembari menenangkan
sahabatnya.
Di sepanjang perjalanan menuju Rumah Sakit, tak
henti-hentinya Muti berdoa untuk keselamatan Rico, tak berhenti pula air
matanya menetes, dia terus beristighfar agar ditenangkan hatinya. Tak sabar ia
ingin segera sampai di Rumah Sakit dan menyaksikan sendiri bagaimana keadaan
Rico.
Sesampainya di Rumah Sakit, Muti langsung menuju ICU, ruang
di mana Rico dirawat. Dia tidak bisa masuk karena Rico masih harus diperiksa
intensif, melihat Ibas yang duduk dengan kepala tertunduk, Muti menghampirinya.
Ibas kaget begitu tahu Muti duduk di sampingnya. Dia tahu apa yang akan Muti
tanyakan padanya. Dan benar saja, maka Ibas menceritakan apa yang sebenarnya
terjadi.
Setelah mendengar cerita Ibas, Muti mencoba paham, tapi dia
masih tidak habis pikir dengan kecerobohan Rico menerima tantangan itu. Masih
mencoba menenangkan pikiran dan hatinya, sambil memejamkan mata dan terus
beristighfar serta berdoa untuk keselamatan Rico, tanpa sadar yang disebelahnya
bukan lagi Ibas melainkan Papanya Rico.
“Muti” sapa Papa Rico.
“Eh Om, iya Om, maaf.. Maaf..” Muti membuka matanya dan
membenarkan letak duduknya.
“Maaf mengganggu, sedang tidur ya?” Tanya Papa Rico merasa
tidak enak.
“Tidak Om, saya tidak sedang tidur. Bagaimana keadaan Rico
Om?” Tanya Muti kemudian.
“2 tulang rusuknya patah, kaki kanannya juga, terjadi
perdarahan cukup besar di kepalanya, dan mengalami gegar otak ringan. Sementara
itu vonis yang diberikan dokter, masih belum tahu kapan Rico bisa sadar dari
komanya” jawab Papa Rico lemah.
“Astaghfirullah..sabar Om, semoga Rico diberikan umur panjang.
Semoga Rico cepat sadar” Ujar Muti mencoba menenangkan Papa Rico.
“Aamiin. Terimakasih ya Muti” Yang langsung tersenyum sambil
menatap Muti
Canggung dengan tatapan dari Papa Rico, Muti menundukkan
kepalanya “Terimakasih untuk apa Om?”
“Karena kamu Rico kembali menjadi Rico yang dulu, sebelum
Rico kehilangan Mamanya”
“Bukan karena saya, Om, tapi Rico berubah karena memang Rico
mau. Saya hanya memberikan support saja.
“Karena kamu selalu ada untuk membantu dia. Dan sekarang Om
bertemu langsung dengan kamu, ternyata kamu jauh lebih cantik jika dibandingkan
di foto”
Muti tersenyum malu “Terimakasih Om”
Sudah 2 minggu Rico mengalami koma. Masih belum ada
tanda-tanda bahwa dia akan sadar dari komanya. Tak pernah absen Muti menenguk
Rico di Rumah Sakit, walaupun hanya bisa mengintip dari kaca pintu, namun sudah
membuat Muti sedikit lega bahwa dia masih bisa melihat raga Rico terbaring di
dalam ruang ICU.
Tak pernah putus doa dia panjatkan. Muti mulai merasa harinya
jadi sedikit sepi, mulai terbiasa dengan keberadaan Rico di hari-harinya.
Bersama Luna dan Rico semakin memberikan warna dalam hidup Muti. Muti pun
wanita biasa, dia remaja normal yang juga mulai merasaka hadirnya perasaan lain
bagi Rico, namun dia tahu bagaimana agamanya mengajarinya untuk dapat menahan
rasa tersebut. Untuk tidak terjerat pada kubangan cinta palsu yang berdiri dan
mengikrarkan diri dalam lingkaran pacaran. Tidak. Tidak akan pernah mau Muti
melanggar ajaran agamanya.
Di lain sisi, Muti lega karena kasus kecelakaan Rico
terungkap. Bahwa kecelakaan Rico disengaja oleh Panca, cowok dari SMA swasta
yang menantang Rico balapan dengan niat balas dendam.
Sama seperti hari-hari sebelumnya.
Sepulang sekolah Muti ke Rumah Sakit untuk menjenguk Rico. Tapi betapa
terkejutnya dia ketika dia tidak melihat Rico di ruang ICU. Muti mulai panik,
dia segera berlari ke ruang informasi.
“Rico” panggil Muti begitu membuka pintu ruangan tempat Rico
dipindahkan.
“Muti” ucap Rico dan Papanya bersamaan.
Muti berjalan mendekati ranjang “Maaf.. Assalamu’alaikum” Sedikit
malu.
“Seharusnya Om yang minta maaf, kamu pasti panik ya melihat
Rico sudah tidak ada di ruang ICU? Maaf karena Om tidak kabarin kamu, takutnya
ganggu kamu di sekolah. Dan malah Om keasyikan ngobrol sama Rico pas udah jam
siang jadi Om lupa kabarin kamu deh” Papa Rico menjelaskan panjang lebar.
“Tidak apa-apa Om, bukan salah Om kok. Saya malah senang karena
tahu kalau Rico sudah dipindah ke ruang rawat” Sahut Muti masih dengan wajah
malu.
Tidak berapa lama mereka terlibat dalam obrolan asyik.
Suasana makin ramai dengan kehadiran Ibas dan Luna. Tak hentinya mereka membuat
kehebohan dengan gaya kocak mereka.
Di tengah obrolan seru kami, aku bersyukur pada Allah yang
telah mengabulkan doaku, doa Papa Rico dan doa teman-teman kami agar Rico
diberi kesembuhan dan keselamatan. Hingga kini kami dapat benar-benar berkumpul
bersama lagi seperti dulu.
Tiga hari kemudian Rico sudah diperbolehkan pulang. Muti,
Luna, dan Ibas meyiapkan kejutan untuk Rico di rumahnya. Ketika sampai di rumah
betapa bahagianya mereka melihat rona bahagia di wajah Rico. Di sela pesta
sederhana itu Rico mengajak Muti untuk berbincang berdua di teras belakang.
“Terimakasih” Rico membuka pembicaraan.
“Untuk?” Tanya Muti heran.
“Untuk semuanya, karena kamu udah mau bantu aku untuk
berubah, karena kamu udah bikin aku akur lagi sama Papa, karena kamu mau
berkorban untuk membantuku padahal resikonya adalah kamu harus dikucilkan oleh
teman-teman Rohis kamu”
Muti tersenyum “Sama-sama Co, makasih juga karena kamu juga
rela buat ngelindungin aku. Dan aku juga mau minta maaf sama kamu”
“Aku yang seharusnya minta maaf sama kamu. Karena aku seperti
membuatmu melanggar komitmenmu terhadap agama kita. Aku benar-benar cowok yang
nggak gentle karena berani mengajak kamu pacaran, seharusnya aku menahan
perasaanku itu hingga tiba waktunya nanti ketika aku telah matang secara usia
dan mental” urai Rico panjang lebar.
“Aku tidak pernah merasa pacaran sama kamu. Aku tidak pernah
bilang bersedia jadi pacar kamu kan? Aku hanya bilang bahwa aku bersedia
mendampingi kamu dalam niatan kamu untuk berubah menjadi lebih baik” jelas Muti
tanpa ada maksud untuk menyakiti perasaan Rico.
“Jadi kita masih bisa bersahabat kan?”.
“Tentu”.
“Sampai tiba waktunya nanti aku berani melamar kamu. Dan jika
Allah memberikan restu untuk kita berjodoh tentunya”.
“Rico, itu masih panjang waktunya. Mendingan sekarang kamu
fokus buat pulihin kondisi kamu dan kita bareng-bareng buat sukses dulu”.
“Tapi kan optimis nggak salah?”.
“Iya Rico, kan jodoh nggak kemana” Muti tak dapat
menyembunyikan rona malunya.
Dan mereka membiarkan masa depan mereka menjadi misteri yang
harus mereka perjuangkan.
TAMAT
Kisah Ini
KISAH INI
masihkah Tuhan menyisakan tinta emasnya untuk menuliskan kisah kita?
aku,kamu,kita
aku,kamu,kita
aku dengan kisahku
kau dengan ceritamu
berbeda dan tak pernah sama
kau dengan ceritamu
berbeda dan tak pernah sama
tapi aku tanpa kamu
layaknya dunia tanpa koma
seperti pantun tanpa sajak
bagai lirik tanpa nada
layaknya dunia tanpa koma
seperti pantun tanpa sajak
bagai lirik tanpa nada
dekap aku,aku ingin berkisah tentang sedihku
sandarkan kepalamu,mulailah bercerita tentang penatmu
rengkuh aku
erat,erat dan makin erat
jangan lepas
karena aku,kamu,kita itu satu
sandarkan kepalamu,mulailah bercerita tentang penatmu
rengkuh aku
erat,erat dan makin erat
jangan lepas
karena aku,kamu,kita itu satu
Hujan Awal November
HUJAN AWAL NOVEMBER
hujan di awal november ini
mengingatkanku akan cerita lama
ku buka lagi lembaran buku lusuh dari kotak berdebu
banyak tawa
tak sedikit pula tangis
semua terangkum dalam cerita
hujan di awal november
hujan di awal november ini
mengingatkanku akan cerita lama
ku buka lagi lembaran buku lusuh dari kotak berdebu
banyak tawa
tak sedikit pula tangis
semua terangkum dalam cerita
hujan di awal november
masih ku ingat kala aku pilu terbalut sembilu
ada juga torehan suka penuh tawa
aku menerawang ke belakang
begitu banyak tangis di hujan di awal novemberku dulu
ada juga torehan suka penuh tawa
aku menerawang ke belakang
begitu banyak tangis di hujan di awal novemberku dulu
ku tutup lagi lembaran lusuh itu
kembali mendengarkan gemericik hujan
penuh harap
gemericik hujan itu bukan lagi tetesan air yang mengiringi tangisku
tapi dendang kebahagiaan
rintik hujan yang berlompatan dan menari
kembali mendengarkan gemericik hujan
penuh harap
gemericik hujan itu bukan lagi tetesan air yang mengiringi tangisku
tapi dendang kebahagiaan
rintik hujan yang berlompatan dan menari
Semarang, 10 November 2014
Langganan:
Postingan (Atom)