BECAUSE OF YOUR SISTER
Ku rebahkan tubuhku begitu aku telah sampai di kamarku.
“Capek, Sayang?” Tanya Mama lembut kepadaku.
“Iya, Ma, tapi nggak papa kok. Capeknya itu capek seneng”
Aku bagun dari tidurku, duduk untuk bisa memeluk manja Mamaku.
Mama membelai lembut kepalaku, “Apapun yang membuatmu
bahagia, Mama pasti ikut bahagia”.
“Terimakasih, Ma” Aku mencium lembut pipi Mama dan memperat
pelukanku.
Bahagianya aku memiliki orangtua
yang begitu menyayangiku, meskipun hidup kami sederhana tapi rumah kami kaya
akan cinta.
“Bu Priya, selamat pagi, Bu” Sapa seorang lelaki dari
belakangku.
Aku membalikkan badan, “Selamat pagi juga, Pak Amin”
kemudian aku menyalaminya.
“Maaf, Bu. Bisa bantu saya membujuk Mita biar mau turun
mobil dan bersekolah?” Pinta Pak Amin, sopir Mita, muridku.
“Baik Pak, mari” Aku mengikuti Pak Amin dari belakang.
Sampai di dekat mobil Mita, aku melihat dia tengah sibuk
memainkan gadgetnya. Sesekali dia menangis, kemudia tersenyum kecil. Sengaja
aku tidak langsung membujuknya, aku harus menentukan langkah tepat untuk bisa
membujuk Mita agar dia tidak semakin marah.
“Mita, Sayang, kamu lagi apa?” Aku mengawali bujukanku
dengan obrolan. Dan Mita hanya diam saja.
“Hmm.. Sedihnya Bu Priya nggak dapat jawaban dari Mita,
padahal Bu Priya pengen temenan sama Mita” Aku menampilkan raut muka sedih.
“Bu Priya nggak boleh nangis, Mita nggak suka lihat orang
nangis. Mita benci nangis” Mita sudah mau membuka suara.
“Kalau Mita nggak suka lihat orang nangis kenapa Mita
sendiri sedih? Kenapa Mita nggak mau sekolah?” Tanyaku halus pada Mita.
“Mita kangen sama Papa sama Mama, kenapa Papa sama Mama
perginya lama banget Bu? Kenapa Papa sama Mama nggak pulang-pulang? Emang Papa
sama Mama nggak kangen sama Mita sama Kak Ali?” Mita mulai menangis di
dekapanku.
Lebih dari 30 menit aku membujuknya, aku biarkan dia
menceritakan kesedihannya. Aku biarkan dia menangis dan mencurahkan segala rasa
sakitnya, rasa rindunya kepa kedua orangtuanya. Aku ikut berpikir, bagaimana
caranya menjelaskan pada Mita bahwa orangtuanya telah meninggal, agar dia tidak
terus menunggu kepulangan orangtuanya. Bagaimana membuat dia yakin bahwa
orangtuanya tak mungkin bisa lagi hadir secara dalam hari-harinya.
Aku hanya sanggup memeluknya erat, entah kenapa aku merasa
begitu dekat dengannya. Sampai pada tangisnya berhenti dan dia mau untuk masuk
sekolah.
“Anak-anak, anak-anak tahu surga nggak?” Tanyaku pada
seluruh siswa di kelasku.
“Tauuuu. Saya tidak tahu. Apa itu surga?” Berbagai macam
jawaban dari mulut siswa-siswaku membuatku tersenyum.
Ya, aku memang seorang guru di
Sekolah Luar Biasa. Setiap hari aku berhadapan dengan anak-anak tunagrahita
sedang. Tidak, jangan pernah bilang mereka idiot, mereka tidak idiot, justru
mereka spesial. Bersama mereka, aku menemukan kejujuran, kepolosan. Sehausnya
begitulah hidup. Bukan sandiwara belaka, bukan cerita yang kita reka, tapi apa
adanya.
Seperti biasa, sepulang sekolah aku menemani Mita hingga
jemputannya datang. Mita terus bercerita tentang kakak lelakinya, betapa dia bangga dan
bahagia memiliki kakak yang selalu menyayanginya tulus. Sebenarnya Mita itu
seumuran denganku, hanya karena dia tunagrahita, makanya dia masih terlihat
seperti anak kecil dalam bertingkah. Akhirnya, jemputan Mita datang. Tapi..
“Maaf, Bu, saya terlambat menjemput Mita” Kata lelaki itu
sembari menjabat tanganku.
“Anda?” Tanyaku penasaran.
“Oh iya, maaf, saya Ali. Kakaknya Mita, Pak Amin harus
pulang kampung karena katanya istrinya masuk Rumah Sakit” Lelaki yang ternyata
kakaknya Mita tadi menjelaskan.
“Oh, maaf, saya hanya takut kalau-kalau..” Ucapanku
terpotong.
“Tidak apa-apa. Wajar kok, Anda mungkin takut saya adalah..”
Ganti aku yang memotong kalimatnya karena aku malu sudah menduganya yang
bukan-bukan.
Ali sempat menawarkan untuk mengantarkanku pulang, tapi aku
menolaknya Karena aku membawa kendaraan sendiri.
Setelah pertemuan itu, entah kenapa sering aku bermimpi
tentang Ali. Apa aku jatuh cinta? Ah, sudahlah. Sebaiknya aku lupakan rasa itu.
Karena tidak mungkin aku pantas bersanding dengannya.
Aku mendengar lagu Need You Know milik Lady Antebellum
berdendang, pertanda ada telpon masuk di handphone-ku.
“Siapa sepagi ini meneleponku” Batinku yang tengah
mengeringkan rambut.
Tercantum nomor tanpa nama, “Halo, selamat pagi” Sapaku
lembut.
“Selamat pagi, apa benar ini Bu Priya?” Tanya sana penelepon
sopan.
“Iya benar, maaf ini siapa?” Tanyaku balik.
“Saya Ali, Bu” Jawaban dari seberang telepon itu membuat
detak jantungku berhenti seketika, “Halo.. Halo.. Bu Priya, apa Anda mendengar
suara saya? Apakah saya telah mengganggu Anda?” Aku tak sadar jika aku melamun,
dan suara di sana terus memanggil untuk menyadarkanku.
“Oh,maaf Pak. Tadi saya..” Kalimatku terpotong.
“Bu Priya, jangan panggil saya Pak, panggil nama saja” pinta
Ali sambil tertawa pelan.
“Tapi, tidak enak Pak. Kan Anda wali dari murid saya” Aku
menjelaskan pada Ali.
“Kalau di lingkungan sekolah saya setuju Anda memanggil saya
dengan sebutan Bapak, tapi saya mohon ketika di luar itu panggil saja saya Ali.
Bagaimana?” Ali menawarkan perjanjian.
Obrolan kami yang sudah
melenceng jauh itu kembali aku luruskan. Kenapa sampai sepagi tiu dia harus
meneleponku. Dan telepon di pagi itu adalah awal dari kedekatan kami. Tak salah
jika aku mengagumi sosoknya, Ali, lelaki 26 tahun, seorang pengusaha muda
dengan fisik yang bisa dikatakan sempurna, wajah tampan blasteran
Indonesia-Yaman, tubuh tinggi atletis, namun dengan kesempurnaan fisik yang dia miliki, dia tak pernah malu mengakui
bahwa dia memiki seorang adik tunagrahita, sopan dan halus tutur bicaranya, dia
begitu rendah hati, dermawan, yah sempurna, hanya satu kata itu yang tepat
untuk menggambarkan bagaimana sosok Ali.
“Terimakasih, Priya” Kata Ali setelah kami mendapatkan
tempat duduk.
“Sama-sama Ali, aku seneng kok bisa nemenin kamu sama Mita
jalan-jalan” Jawabku sambil tersenyum dan memandang teduh Ali.
“Aku senang bisa dekat sama kamu, aku senang karena kamu
bisa akrab dengan Mita. Jujur, begitu banyak wanita yang ingin dekat denganku,
tapi aku tahu apa maksud mereka dan mereka belum tentu bisa nerima keberadaan
Mita, buat aku, kenyamanan Mita dengan perempuan yang akan mendampingiku nanti
lebih dari apapun” Ungkap Ali panjang lebar dan aku tak menangkap maksudnya.
“Mita dan teman-temannya itu spesial menurutku dan entah
kenapa aku begitu mudahnya dekat dengan Mita dari sejak pertama aku masuk ke
SLB itu. Aku senang mendengar ceritanya tentang keluarganya, aku seperti
ngerasain sakit hatinya waktu dia ingat kedua orangtuanya, dan aku bangga
ketika dia bercerita tentang kakaknya yang begitu menyayanginya” Kataku jujur
sambil merapikan makanan Mita yang tercecer.
“Dan bagaimana setelah kamu tahu bahwa kakaknya Mita itu
adalah aku?” Tanya Ali membuatku salah tingkah.
“Ah..ya itu, aku” Aku bingung harus menjawab apa, “Aku,
maksudnya ya berarti benar apa yang dikatakan Mita tentang kamu” Sambil
menenangkan perasaanku sendiri.
Kami melanjutkan acara kami hari itu ke danau dekat dengan
bumi perkemahan, aku berkejaran dengan Mita dan Ali hanya memperhatikan kami dengan
terus tersenyum. Aku gemas melihatnya, maka ku tarik dia untuk ikut aku dan
Mita berkejaran. Aku dan Ali mengejar Mita, lucu melihat tingkahnya yang polos
dan mirip sekali dengan anak kecil. Tanpa sengaja aku dan Ali bersamaan
menangkap Mita sehingga kami nyaris berpelukan dengan posisi Mita berada di
antara kami.
“Ya Tuhan, alihkan aku dari matanya. Betapa aku
mengaguminya, bukan, aku bukan sekedar mengaguminya, bahkan aku mencintainya”
Gumamku saat aku beradu pandang dengan Ali.
“Menikahlah denganku” Ungkap Ali dalam dan lirih namun
terdengar jelas olehku.
“A..apa?” Kataku tak percaya akan pernyataannya.
“Aku mohon padamu, menikahlah denganku, Priya” Ali
mengulangi penyataannya sambil menggenggam erat tanganku kini.
“Tapi, kita..” Aku bahagia tapi juga bingung.
“Priya, jujur, aku belum pernah mengenal yang namanya
pacaran dan aku merasakan benar-benar jatuh cinta adalah sejak bertemu sama
kamu, aku bukan tipe orang yang suka mempermainkan perempuan, aku ingin sekali
seumur hidup dan sekarang aku menemukanmu, aku tak ingin menyiakanmu. Sekali
lagi, Priya, aku mohon menikahlah denganku” Ali kembali mengulang pernyataannya
masih dengan menggenggam erat tanganku dan tatapan teduhnya.
Aku perhatikan Mita yang tengah asyik bermain dengan
bonekanya di rerumputan. Aku tersenyum melihatnya, aku begitu menyayanginya.
Inikah arti dari betapa emosionilnya aku terhadap segala perasaannya? Bahwa
kami…
“Aku bersedia” Aku menjawab pernyataan Ali dengan linangan
air mata haru.
Ali langsung mendekapku dalam pelukan hangatnya. Betapa
damai, betapa teduh, betapa tenang dan nyaman ketika aku dalam rengkuhannya
saat ini. Di tengah pelukan kami tiba-tiba datang Mita yang turut memeluk kami
sambil dia tertawa senang.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar