Minggu, 16 November 2014

Because of Your Sister

BECAUSE  OF YOUR SISTER
Ku rebahkan tubuhku begitu aku telah sampai di kamarku.
“Capek, Sayang?” Tanya Mama lembut kepadaku.
“Iya, Ma, tapi nggak papa kok. Capeknya itu capek seneng” Aku bagun dari tidurku, duduk untuk bisa memeluk manja Mamaku.
Mama membelai lembut kepalaku, “Apapun yang membuatmu bahagia, Mama pasti ikut bahagia”.
“Terimakasih, Ma” Aku mencium lembut pipi Mama dan memperat pelukanku.
Bahagianya aku memiliki orangtua yang begitu menyayangiku, meskipun hidup kami sederhana tapi rumah kami kaya akan cinta.
“Bu Priya, selamat pagi, Bu” Sapa seorang lelaki dari belakangku.
Aku membalikkan badan, “Selamat pagi juga, Pak Amin” kemudian aku menyalaminya.
“Maaf, Bu. Bisa bantu saya membujuk Mita biar mau turun mobil dan bersekolah?” Pinta Pak Amin, sopir Mita, muridku.
“Baik Pak, mari” Aku mengikuti Pak Amin dari belakang.
Sampai di dekat mobil Mita, aku melihat dia tengah sibuk memainkan gadgetnya. Sesekali dia menangis, kemudia tersenyum kecil. Sengaja aku tidak langsung membujuknya, aku harus menentukan langkah tepat untuk bisa membujuk Mita agar dia tidak semakin marah.
“Mita, Sayang, kamu lagi apa?” Aku mengawali bujukanku dengan obrolan. Dan Mita hanya diam saja.
“Hmm.. Sedihnya Bu Priya nggak dapat jawaban dari Mita, padahal Bu Priya pengen temenan sama Mita” Aku menampilkan raut muka sedih.
“Bu Priya nggak boleh nangis, Mita nggak suka lihat orang nangis. Mita benci nangis” Mita sudah mau membuka suara.
“Kalau Mita nggak suka lihat orang nangis kenapa Mita sendiri sedih? Kenapa Mita nggak mau sekolah?” Tanyaku halus pada Mita.
“Mita kangen sama Papa sama Mama, kenapa Papa sama Mama perginya lama banget Bu? Kenapa Papa sama Mama nggak pulang-pulang? Emang Papa sama Mama nggak kangen sama Mita sama Kak Ali?” Mita mulai menangis di dekapanku.
Lebih dari 30 menit aku membujuknya, aku biarkan dia menceritakan kesedihannya. Aku biarkan dia menangis dan mencurahkan segala rasa sakitnya, rasa rindunya kepa kedua orangtuanya. Aku ikut berpikir, bagaimana caranya menjelaskan pada Mita bahwa orangtuanya telah meninggal, agar dia tidak terus menunggu kepulangan orangtuanya. Bagaimana membuat dia yakin bahwa orangtuanya tak mungkin bisa lagi hadir secara dalam hari-harinya.
Aku hanya sanggup memeluknya erat, entah kenapa aku merasa begitu dekat dengannya. Sampai pada tangisnya berhenti dan dia mau untuk masuk sekolah.
“Anak-anak, anak-anak tahu surga nggak?” Tanyaku pada seluruh siswa di kelasku.
“Tauuuu. Saya tidak tahu. Apa itu surga?” Berbagai macam jawaban dari mulut siswa-siswaku membuatku tersenyum.
Ya, aku memang seorang guru di Sekolah Luar Biasa. Setiap hari aku berhadapan dengan anak-anak tunagrahita sedang. Tidak, jangan pernah bilang mereka idiot, mereka tidak idiot, justru mereka spesial. Bersama mereka, aku menemukan kejujuran, kepolosan. Sehausnya begitulah hidup. Bukan sandiwara belaka, bukan cerita yang kita reka, tapi apa adanya.
Seperti biasa, sepulang sekolah aku menemani Mita hingga jemputannya datang. Mita terus bercerita tentang  kakak lelakinya, betapa dia bangga dan bahagia memiliki kakak yang selalu menyayanginya tulus. Sebenarnya Mita itu seumuran denganku, hanya karena dia tunagrahita, makanya dia masih terlihat seperti anak kecil dalam bertingkah. Akhirnya, jemputan Mita datang. Tapi..
“Maaf, Bu, saya terlambat menjemput Mita” Kata lelaki itu sembari menjabat tanganku.
“Anda?” Tanyaku penasaran.
“Oh iya, maaf, saya Ali. Kakaknya Mita, Pak Amin harus pulang kampung karena katanya istrinya masuk Rumah Sakit” Lelaki yang ternyata kakaknya Mita tadi menjelaskan.
“Oh, maaf, saya hanya takut kalau-kalau..” Ucapanku terpotong.
“Tidak apa-apa. Wajar kok, Anda mungkin takut saya adalah..” Ganti aku yang memotong kalimatnya karena aku malu sudah menduganya yang bukan-bukan.
Ali sempat menawarkan untuk mengantarkanku pulang, tapi aku menolaknya Karena aku membawa kendaraan sendiri.
Setelah pertemuan itu, entah kenapa sering aku bermimpi tentang Ali. Apa aku jatuh cinta? Ah, sudahlah. Sebaiknya aku lupakan rasa itu. Karena tidak mungkin aku pantas bersanding dengannya.
Aku mendengar lagu Need You Know milik Lady Antebellum berdendang, pertanda ada telpon masuk di handphone-ku.
“Siapa sepagi ini meneleponku” Batinku yang tengah mengeringkan rambut.
Tercantum nomor tanpa nama, “Halo, selamat pagi” Sapaku lembut.
“Selamat pagi, apa benar ini Bu Priya?” Tanya sana penelepon sopan.
“Iya benar, maaf ini siapa?”  Tanyaku balik.
“Saya Ali, Bu” Jawaban dari seberang telepon itu membuat detak jantungku berhenti seketika, “Halo.. Halo.. Bu Priya, apa Anda mendengar suara saya? Apakah saya telah mengganggu Anda?” Aku tak sadar jika aku melamun, dan suara di sana terus memanggil untuk menyadarkanku.
“Oh,maaf Pak. Tadi saya..” Kalimatku terpotong.
“Bu Priya, jangan panggil saya Pak, panggil nama saja” pinta Ali sambil tertawa pelan.
“Tapi, tidak enak Pak. Kan Anda wali dari murid saya” Aku menjelaskan pada Ali.
“Kalau di lingkungan sekolah saya setuju Anda memanggil saya dengan sebutan Bapak, tapi saya mohon ketika di luar itu panggil saja saya Ali. Bagaimana?” Ali menawarkan perjanjian.
Obrolan kami yang sudah melenceng jauh itu kembali aku luruskan. Kenapa sampai sepagi tiu dia harus meneleponku. Dan telepon di pagi itu adalah awal dari kedekatan kami. Tak salah jika aku mengagumi sosoknya, Ali, lelaki 26 tahun, seorang pengusaha muda dengan fisik yang bisa dikatakan sempurna, wajah tampan blasteran Indonesia-Yaman, tubuh tinggi atletis, namun dengan kesempurnaan fisik  yang dia miliki, dia tak pernah malu mengakui bahwa dia memiki seorang adik tunagrahita, sopan dan halus tutur bicaranya, dia begitu rendah hati, dermawan, yah sempurna, hanya satu kata itu yang tepat untuk menggambarkan bagaimana sosok Ali.
“Terimakasih, Priya” Kata Ali setelah kami mendapatkan tempat duduk.
“Sama-sama Ali, aku seneng kok bisa nemenin kamu sama Mita jalan-jalan” Jawabku sambil tersenyum dan memandang teduh Ali.
“Aku senang bisa dekat sama kamu, aku senang karena kamu bisa akrab dengan Mita. Jujur, begitu banyak wanita yang ingin dekat denganku, tapi aku tahu apa maksud mereka dan mereka belum tentu bisa nerima keberadaan Mita, buat aku, kenyamanan Mita dengan perempuan yang akan mendampingiku nanti lebih dari apapun” Ungkap Ali panjang lebar dan aku tak menangkap maksudnya.
“Mita dan teman-temannya itu spesial menurutku dan entah kenapa aku begitu mudahnya dekat dengan Mita dari sejak pertama aku masuk ke SLB itu. Aku senang mendengar ceritanya tentang keluarganya, aku seperti ngerasain sakit hatinya waktu dia ingat kedua orangtuanya, dan aku bangga ketika dia bercerita tentang kakaknya yang begitu menyayanginya” Kataku jujur sambil merapikan makanan Mita yang tercecer.
“Dan bagaimana setelah kamu tahu bahwa kakaknya Mita itu adalah aku?” Tanya Ali membuatku salah tingkah.
“Ah..ya itu, aku” Aku bingung harus menjawab apa, “Aku, maksudnya ya berarti benar apa yang dikatakan Mita tentang kamu” Sambil menenangkan perasaanku sendiri.
Kami melanjutkan acara kami hari itu ke danau dekat dengan bumi perkemahan, aku berkejaran dengan Mita dan Ali hanya memperhatikan kami dengan terus tersenyum. Aku gemas melihatnya, maka ku tarik dia untuk ikut aku dan Mita berkejaran. Aku dan Ali mengejar Mita, lucu melihat tingkahnya yang polos dan mirip sekali dengan anak kecil. Tanpa sengaja aku dan Ali bersamaan menangkap Mita sehingga kami nyaris berpelukan dengan posisi Mita berada di antara kami.
“Ya Tuhan, alihkan aku dari matanya. Betapa aku mengaguminya, bukan, aku bukan sekedar mengaguminya, bahkan aku mencintainya” Gumamku saat aku beradu pandang dengan Ali.
“Menikahlah denganku” Ungkap Ali dalam dan lirih namun terdengar jelas olehku.
“A..apa?” Kataku tak percaya akan pernyataannya.
“Aku mohon padamu, menikahlah denganku, Priya” Ali mengulangi penyataannya sambil menggenggam erat tanganku kini.
“Tapi, kita..” Aku bahagia tapi juga bingung.
“Priya, jujur, aku belum pernah mengenal yang namanya pacaran dan aku merasakan benar-benar jatuh cinta adalah sejak bertemu sama kamu, aku bukan tipe orang yang suka mempermainkan perempuan, aku ingin sekali seumur hidup dan sekarang aku menemukanmu, aku tak ingin menyiakanmu. Sekali lagi, Priya, aku mohon menikahlah denganku” Ali kembali mengulang pernyataannya masih dengan menggenggam erat tanganku dan tatapan teduhnya.
Aku perhatikan Mita yang tengah asyik bermain dengan bonekanya di rerumputan. Aku tersenyum melihatnya, aku begitu menyayanginya. Inikah arti dari betapa emosionilnya aku terhadap segala perasaannya? Bahwa kami…
“Aku bersedia” Aku menjawab pernyataan Ali dengan linangan air mata haru.
Ali langsung mendekapku dalam pelukan hangatnya. Betapa damai, betapa teduh, betapa tenang dan nyaman ketika aku dalam rengkuhannya saat ini. Di tengah pelukan kami tiba-tiba datang Mita yang turut memeluk kami sambil dia tertawa senang.
TAMAT

 Note: ini menurut saya acak2an banget ceritanya..ga banget deh buat dipublikasiin tapi kata temen kalo dibuang sayang,,hehehe
yaaaaa..jadinya publikasiin aja biar tau salahnya dimana
sama komen temen2 gimana
:D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar