Selasa, 11 November 2014

cerpen - Gadis Senja

GADIS SENJA
Sore hari itu aku putuskan untuk hunting foto di pantai, ku manfaatkan masa liburanku ini sebaik mungkin. Ku arahkan kameraku ke view-view yang terlihat cantik di senja itu. Sampai akhirnya kameraku berhenti pada sosok gadis yang tengah berdiri sendiri di bibir pantai, dia seperti tengah menikmati senja yang sebentar lagi habis terganti oleh malam.
Ku bidik sosok gadis itu dengan kameraku. Pas sekali posisinya dan sangat natural menyatu dengan kondisi. Seperti menggambarkan bahwa Sang Gadis teramat takut kehilangan senja, takut senja tak akan kembali esok hari. Ku lihat hasil jepretanku dan sosok gadis itulah yang paling sempurna dibandingkan dengan hasil jepretanku yang lainnya sore itu.
“Cara gadis itu menikmati senja, seperti hendak bercerita sesuatu. Saat matahari benar-benar akan tenggelam dengan jelas ku lihat gadis itu seperti ingin meraih dan memanggil sang nirwana agar ia ak tenggelam, takut untuk kehilangan senja itu. Siapa sebenarnya gadis itu?” aku bergumam penasaran.
Kriiiiiiing…kriiiiiiiiiing…
“Ya halo??” kuangkat telepon itu dengan malas.
“Bian, kamu di mana sih Nak sebenarnya?” terselip isak tangis pula dari pertanyaan itu.
“Bian aman kok Mam, Bian nggak macem-macem” jawabku singkat.
“Kamu kenapa harus pergi seperti ini sih? Apa sulitnya kamu penuhin keinginan Mami sama Papi?” semakin keras saja ibuku menangis.
“Mam, kalau Mami telepon Bian Cuma buat bahas perjodohan itu lebih baik Mami tutup teleponnya sekarang atau Bian nggak akan pernah angkat telepon dari Mami lagi” ancamku pada ibuku.
Ya, alasanku bisa sampai di sini adalah karena aku melarikan diri dari perjodohan. Orangtuaku berniat menjodohkanku dengan anak sahabatnya, menurut info dari orangtuaku gadis itu manis, mandiri, dan bernama Azana, biasa dipanggil Ay. Tapi deskripsi dari orangtuaku belum mampu membuatku tertarik.
Sore hari itu ku putuskan untuk ke pantai itu lagi, dan benar saja. Ku temukan lagi gadis itu tengah berdiri di bibir pantai menikmati senja. Kini tak ingin ku sia-siakan kesempatan ini untuk kenal dengannya. Sengaja aku memotretnya dari dekat agar ada alasan untukku dekat padanya.
“Ah..” gadis itu kaget sepertinya, terlihat dari refleknya dia menutupi wajahnya dengan kedua tangannya ketika blitz kameraku menyilaukan pandangannya.
“Maaf..terlalu dekat ya?”modusku kurang tepat sepertinya.
“Kamu motret aku? Buat apa?” Tanya gadis itu polos.
“Kemarin dan hari ini aku melihatmu menikmati senja, seperti ada yang ingin kamu ceritakan tentang senja tapi kamu nggak bisa ungkapin itu, makanya kamu pendam sendiri. Eh..maaf kalau lancang” aku merasa tidak enak hati karena seperti sok tahu tentang kehidupannya.
“Iya, kamu bener. Aku suka sekali senja, aku sering takut kalau senja pergi. Aku takut senja nggak akan kembali lagi esok” lalu gadis itu tersenyum
“Apa boleh aku tahu nama kamu? Aku Bian” aku menjulurkan tangan padanya.
“Naya, Kanaya lengkapnya” jawabnya menyambut uluran tanganku.
“Apa boleh kalau kamu jadi modelku? Kapan kita bisa ketemu lagi?” tanyaku to the point.
“Saat senja, saat cerah. Di sini. Aku selalu di sini” jawab Naya lembut.
Sejak perkenalan itu kami semakin akrab dan semakin akrab. Hingga tanpa kusadari telah tumbuh cinta di hatiku untuk gadis itu, Naya.
Senja demi senja kami lewatin bersama-sama. Dia begitu senang dan begitu menikmati setiap gayanya ketika aku memotretnya. Natural dan tidak dibuat-buat. Raut wajahnya seperti bercerita tanpa dia harus mengeluarkan suara. Dari kedekatan kami, sebenarnya ada hal yang mengganjal dalam hatiku. Setiap aku ingin mengantarkannya pulang dia selalu menolak, dia selalu beralasan ingin pulang sendiri saja.
Aku hargai keinginannya dan aku jaga privasinya, hingga belum pernah terpikir olehku untuk mengikutinya ketika dia pulang. Tapi suatu sore, tanpa sengaja aku melihatnya bertegur sapa dengan ibu-ibu penjual souvenir di dekat pantai.
“Gue yakin sama apa yang gue rasain. Gue cinta sama Naya” gumamku ketika ku rebahkan tubuhku di kasur. “Besok, akan ku coba peruntunganku. Akan ku nyatakan cintaku, apapun hasilnya” ujarku optimis.
“Hei Bung, sampai kapan lo mau ninggalin kantor?” cerocos Vino, sahabat sekaligus partnerku.
“Sampai gue bisa bawa pulang Naya, bilang ke orangtua gue kalau gue udah punya pilihan sendiri” jawabku.
“Gokiiiiiiiilllll…jadi beneran ketemu jodoh ni di sana?” Vino mulai mengulik tentangku.
“Baru suka, belum bilang ke dia tentang perasaan gue. Dan gue berencana besok mau ungkapin perasaan gue” ceritaku dengan sedikit rona malu.
Dan obrolan via teleponku dengan Vino berakhir dengan doa dia untuk keberhasilanku mendapatkan hati Sang Gadis Senja, Naya.
Cuaca cerah, semoga bertahan hingga senja nanti. Karena aku berniat untuk menyatakan rasaku pada Gadis Senjaku. Dan waktu yang kutunggu-tunggu datang, sore hari.
Segera ku bawa kameraku berlari, tak lupa aku membeli bunga yang hendak ku serahkan pada Naya. Tapi sore itu tak kutemui kehadiran Naya di sana, menunggu dan menunggu hingga senja benar-benar ditelan malam masih tak ada tanda-tanda bahwa Naya akan datang.
“Mungkin dia sedang ada urusan dan esok senja akan hadir lagi” gumamku.
Dan esok hari, saat senja masih saja aku setia menanti Naya dan masih saja dia tak hadir di senja hari ini. Seperti itulah yang terjadi di senja berikutnya, Naya masih juga tidak hadir. Tiba-tiba aku teringat sesuatu, ya ibu-ibu yang pernah bertegur sapa dengan Naya.
Benar saja, senja itu ku temui ibu-ibu itu ketika dia tengah membereskan barang dagangannya. Aku menunggunya hingga dia benar-benar selesai berberes. Betapa terkejutnya aku dengan apa yang diceritakan Ibu tadi.
“Memang yang kamu temui selama ini adalah Naya, tapi hanya jiwanya tidak beserta raganya” jawaban singkat dari ibu pedagang itu sempat membuatku terperangah tak percaya dalam satu hingga dua menit.
“Nggak mungkin Bu, saya punya foto-fotonya. Saya bisa tunjukkan pada Ibu” betapa terkejutnya aku ketika kubuka file-file di kameraku yang harusnya ada Naya di situ menjadi hanya berupa view.
“Mari ikut saya, saya tunjukkan rumah Naya padamu, Nak” ibu itu menawarkan diri untuk mengantarku ke rumah Naya.
“Baik Bu” dan aku mengikuti ibu itu.
Tidak terlalu jauh jarak rumah Naya dengan pantai. Hanya perlu 45 menit berjalan kaki, sebuah perumahan yang asri dan ramah. Aku berdiri tepat di depan rumah Naya yang malam itu terlihat ramai, aku penasaran dan aku masuk ke gerbang. Ku beranikan diri untuk menyapa salah seorang di sana untuk sekedar bertanya benarkah ini rumah Kanaya.
“Permisi, Pak, apa benar ini rumah Naya? Maksud saya Kanaya” tanyaku to the point kepada seorang lelaki berpostur tinggi yang mengenakan pakaian serba hitam dan sedang menyalami tamu-tamu yang hadir.
“Iya benar, adik ini siapa?” Tanya laki-laki itu penasaran karena mungkin baru pertama kali melihatku.
“Saya Bian, Fabian, temannya Naya, Pak”
Tiba-tiba laki-laki itu memelukku dan terisak “Ikhlaskanlah Nak, Naya sudah pergi, mungkin ini yang terbaik baginya setelah koma selama 2 bulan ini”
“Naya?koma?karena apa?” tanyaku seakan aku masih tidak percaya.
“2 bulan yang lalu, Naya mengalami kecelakaan cukup hebat ketika dia pulang dari lokasi pemotretan. Jalanan yang dilaluinya licin setelah hujan, dia tidak bisa mengendalikan laju mobilnya. Sehingga terjadilah kecelakaan itu yang menyebabkan patahnya tulang belakang Naya dan pembengkakan pada jantungnya karena benturan keras di dada kirinya. Sejak itulah Naya koma dan sampai dia mendapatkan jalan terbaiknya hari ini” laki-laki yang ternyata adalah Pamannya Naya menjelaskan padaku kronologi kecelakaan Naya.
Aku mendekati jasad Naya, aku melihatnya benar-benar dekat dan aku melihatnya tersenyum. “Naya senang berkenalan denganmu, Gadis Senjaku” ucapku lirih.
Percayalah Naya, senja yang berlalu pada hari ini akan hadir lagi esok. Jangan takut lagi ketika senja itu berganti dengan malam dan bagiku senja bukanlah masa lalu. Tapi senja adalah masa depan yang akan terus hadir dengan warna dan cerita yang berbeda.
Selamat jalan Naya, Gadis Senjaku.

TAMAT

2 komentar: