Selasa, 11 November 2014

cerpen - Debar Cinta Mutiara

DEBAR CINTA MUTIARA
Mutiara, gadis berkerudung yang biasa dipanggil Muti oleh teman-temannya adalah gadis alim yang aktif dalam kegiatan kerohanian Islam, itu juga yang membuatnya terlibat aktif menjadi pengurus organisasi Rohis di sekolahnya, sebuah SMA negeri di pinggiran kota Jakarta.
“Mutiiiiiii” Terdengar suara gadis berteriak memanggil Muti dari belakang.
“Assalamu’alaikum, Luna” Sahut Muti lembut ketika gadis yang memanggilnya tadi telah sampai di hadapannya.
Dan gadis itu nyengir menunjukkan deretan giginya yang rapi, “ iya Bu Ustadzah maaf, gue ulangin deh. Assalamu’alaikum, Muti” timpal gadis itu dengan tingkah yang dibuat seimut mungkin.
“Wa’alaikumsalam, Luna. Nah gitu dong..kenapa sih?sampe heboh teriak gitu manggil aku?” Jawab Muti sambil tersenyum geli melihat tingkah sahabatnya.
“Nggak papa, Cuma pengen manggil aja, biar lo mau berhenti jadi kita bisa ke kelas bareng. Hahaha” jawab Luna dengan wajah tanpa dosa.
Yang digodain Cuma bisa pasang wajah cemberut.
Luna, gadis lincah dengan wajah manis dan suka bertingkah heboh adalah sahabat Muti semenjak SD. Berkebalikan dengan Muti yang kalem, tapi itulah yang membuat mereka saling melengkapi. Karena mereka bisa saling menghargai sikap masing-masing. Luna tidak berkerudung tapi Muti bisa menghargai itu, tak pernah Muti memaksa Luna untuk berkerudung seperti dirinya.
Hari-hari mereka dilalui dengan penuh warna, tapi tak pernah sekalipun mereka saling mendiamkan. Saat ada masalah mereka selalu langsung menyelesaikannya.
Brukkk
“Innalillahi..maaf..maaf..aku nggak sengaja” ucap Muti merasa bersalah.
“Lo piker gue mati lo ucapin Innalillahi??” yang ditabrak menjawab sewot.
“Kalo kena musibah kan emang harus ngucapin itu, nggak ada maksud buat ngucapin itu ke kamu juga kan..” penjelasan Muti terpotong.
“Ssstt…gue nggak butuh ceramah dari lo” masih dengan nada sewot.
“Aku kan udah minta maaf..kan nggak sengaja” masih dengan nada lembutnya.
“Yaudah sana..sana..” usir laki-laki itu dengan jengkel.
Setelah Muti meninggalkan laki-laki itu di tempatnya berdiri, laki-laki itu pun meninggalkan tempatnya bertabrakan dengan Muti tadi sambil menggerutu.
“Ngerusak mood gue aja tu cewek. Emang masih jaman ya cewek pake krudung terus rok sama baju longgar gitu? Jangan-jangan termasuk dalam jaringan teroris lagi dia? Nggak mungkin deh kayaknya..kan dia nggak nutupin wajahnya atau mungkin dia anak teroris terus… eh, gue apaan sih?kenapa malah penasaran sama tu cewek. Tapi emang manis sih, cuma gue ngga suka sama penampilannya, kayak ibu-ibu. Tuh kan jadi bahas dia lagi. Aaargh..” Gerutu Rico sepanjang perjalanan menuju kelas.
Brak..Rico menendang kursi yang menghalangi jalannya saat dia tiba di kelas. Menduduki kursinya sambil terus mendengus dan menggerutu.
“Kenapa sih lo, Co?datang-datang maen nendang kursi ngedumel nggak karuan gitu” Tanya Ibas sahabat Rico.
“Sial banget gue hari ini, udah tadi dipanggil BK, kena marah juga sama guru BK, mau balik ke kelas ditabrak sama cewek aneh eh diceramahin lagi sama dia pas dia gue semprot,lebih parahnya lagi gue didoain meninggal, gila ngga lo?” Cerosos Rico.
“Serius? Lo didoain mati ama tu cewek? Siapa tu cewek? Berani amat sama Lo?” Tanya Ibas kini terlihat antusias.
“Cewek sok alim yang aktif banget di kegiatan keagamaan itu. Yang kalo pake baju kelonggaran kayak emak-emak” jawab Rico sewot.
“Muti maksud lo? Mana mungkin dia doain lo mati, ada-ada aja lo. Cewek manis, alim, lembut gitu lo kata aneh. Lo tu yang aneh” Kali ini Ibas tidak setuju dengan sahabatnya.
Ketidak setujuan Ibas membuat mood Rico semakin buruk.
Saat perjalanan pulang sekolah Rico terpikir oleh ucapan Ibas tentang gadis berkerudung itu. Sepanjang perjalanan dia membatin tentang gadis itu. Tidak dipungkiri memang apa yang dikatakan Ibas benar bahwa Muti itu gadis yang manis, bukan hanya secara fisik tapi tingkah lakunya dan tutur bicaranya. Saat Rico membentak Muti tadi pun tak sedikit pun Muti menunjukkan rona marah, bahkan bila dipikir yang bersalah di adegan tabrakan tadi bukan Muti tapi dia sendiri yang berjalan dengan emosi tapi justru Muti yang minta maaf.
Ciiiiiiiittttt…
“Sial!!nyaris saja” gumam Rico saat dia tersadar dari lamunannya bahwa dia hendak menabrak seseorang.
“Kamu??” gadis itu kaget ketika tahu bahwa yang hendak menabraknya adalah teman satu sekolahnya.
“Lo lagi? Ngapain sih lo ngalangin jalan gue?” samber Rico dengan pertanyaan yang tidak masuk akal karena saking emosi dan bingungnya dia.
“Kok malah kamu nyalahin aku? Kan kamu yang meleng? Aku juga kan nyebrang jalan, bukan Cuma hari ini aja juga, tiap hari aku nyebrang jalan ini karena emang rumah aku ada di seberang sana. Salah bukannya minta maaf malah marah-marah”Jelas Muti halus.
Berasa malu dan memang dia bersalah, Rico pun minta maaf dengan gaya gengsinya. Tidak mau memperpanjang masalah Muti memaafkannya lalu pamit untuk pulang.
Sementara Rico masih mematung di pinggir jalan tadi sambil memperhatikan Muti berjalan hingga hilang di tikungan masuk ke gang arah rumahnya.
Sepertinya keadaan sering membuat Rico dan Muti bertemu secara tidak sengaja dan dalam situasi yang sering membuat mereka salah tingkah. Seperti halnya hari ini, sekalipun hari libur. Secara tidak sengaja mereka bertemu di toko buku.
“Mbak, nggak mungkin kartu kredit saya nggak bisa dipake” debat Rico saat di kasir di toko buku tersebut.
“Tapi mas, kenyataannya seperti itu. Tidak bisa digunakan karena telah diblokir” tegas kasir itu lagi.
“Pasti Papa” gumam Rico.
“Sekalian dengan ini saja, Mbak” timpal seorang gadis.
Rico kaget, karena merasa kenal dengan suara itu. Dan saat menoleh, benar saja tebakan Rico bahwa gadis itu adalah Muti.
“Lo?” reflek Rico memecah kekagetannya.
“Iya” jawab Muti sambil tersenyum.
Saat keduanya berjalan keluar, timbul rasa canggung pada Rico. Dia jadi kikuk, tidak tahu apa yang harus dikatakannya pada Muti. Sampai akhirnya ketika tiba di luar toko Rico mampu membuka mulutnya.
“Muti, ehm..thanks ya. Besok gue ganti duitnya” ujar Rico.
“Sama-sama Rico” Jawab Muti tanpa lupa memberikan senyum manisnya. “Yaudah, aku pulang dulu ya. Assalamu’alaikum” Pamit Muti ke Rico
“Muti” Panggil Rico tiba-tiba saat Muti hendak meninggalkannya.
Muti menghentikan langkahnya dan menoleh “Iya Rico? Ada apa lagi?”
“Gue anterin lo pulang ya?” Tawar Rico dengan tidak yakin.
“Hmmm..” Muti pun ragu.
“Gue nggak pake motor kok. Gue bawa mobil jadi masih ada jarak, lagi juga kan di jalan rame jadi nggak mungkin gue ngapa-ngapain lo” Rico mencoba meyakinkan Muti.
“Baiklah, semoga ini bisa jadi awal perdamaian kita. Atau mungkin kita bisa bersahabat” Jawab Muti sambil tersenyum manis.
Mereka berjalan beriringan menuju mobil Rico. Sepanjang perjalanan pulang Rico mencuri-curi pandang ke Muti tanpa  sepengetahuan Muti. Dan dia sadar bahwa ada perasaan lain yang kini menggelayuti hatinya, perasaan yang belum pernah dia rasakan sebelumnya pada perempuan mana pun. Dan ini yang dia sebut dengan jatuh cinta. Cinta pertamanya, yang tidak pernah dia bayangkan bahwa dia akan jatuh cinta pada gadis lugu dan kalem seperti Mutiara Annisa, gadis yang agamis, yang sangat bertolak belakang dengan dirinya yang yah begitulah. Mana mungkin dia bisa memikat hati Muti bila dia sendiri tahu bahwa jauh dari kata baik sebagai seorang manusia.
Setiap harinya hanya diisi dengan bikin onar dan kenakalan lainnya. Dia sendiri mulai berpikir kenapa dia jadi liar seperti itu semenjak kepergian Mamanya. Kenapa dia harus mencari perhatian dari Papanya dan orang lain dengan cara yang seperti itu. Dia mulai sadar bahwa caranya bukan menjadikan dia diperhatikan tapi justru menjadikan dia semakin dijauhi oleh banyak orang.
Bahkan kini Papanya tega memblokir kartu kreditnya, dia sadar bahwa pasti banyak uang hasil keras Papanya yang telah dia hamburkan. Untuk berfoya-foya, bahkan tidak hanya satu atau dua kali dia gunakan uangnya itu untuk taruhan balapan liar.
“Rico..Rico..” Panggil Muti “Rico!” Panggil Muti sedikit lebih keras.
Ciiiiiit..tanpa sadar Rico ngerem mendadak
“Aduh” Rintih Muti karena seatbeltnya mengencang saat dia maju kedepan Karena Rico ngerem mendadak tadi
“Maaf.. Maaf.. Lo nggak papa kan? Sorry gue nggak sengaja, gue kaget tadi denger lo manggil gue. Kenapa?” Rico merasa tidak enak pada Muti.
“Nggak kok, aku nggak papa. Kamu sendiri kenapa kamu ngelamun?” sahut Muti.
“Nggak kok. Eh Muti, boleh nggak kalo kita mampir dulu ke suatu tempat?” Tanya Rico.
“Mau kemana memangnya?” Tanya Muti hati-hati.
“Cuma ke taman di deket Balaikota kok. Gimana?” tawar Rico lagi.
“Iya nggak papa” Muti menerima tawaran Rico dengan halus dan senyum manis khas dirinya.
Tanpa disadari Rico membalas senyum Muti yang membuat Muti menggumam bahwa Rico tidak sebrutal yang dilihatnya selama ini. Masih ada sisi manis dan baiknya dalam diri Rico, buktinya hari ini dia bisa melihat senyum tulus Rico dan bahasa bicara Rico yang tidak meledak-ledak.
Saat tiba di taman tak banyak yang mereka obrolkan, justru lebih banyak diam. Tapi Rico sempat bercerita tentang kondisi keluarganya pada Muti yang membuat Muti paham alasan Rico terkenal brutal selama ini.
Sejak hari itu kedekatan Rico dan Muti semakin intens, sehingga menimbulkan kecurigaan pada Luna. Akhirnya Luna memberanikan diri untuk bertanya pada sahabatnya, ada apa sebenarnya antara Muti dan Rico.
“Alhamdulillah, selesai juga tugas kita” ujar Muti lega.
“Iya,akhirnya ya Mut.. Eh,boleh nggak gue nanya sesuatu sama lo?” Sahut Luna yang dilanjutkan dengan pertanyaan.
“Iya Luna,nanya aja”
“Sebelumnya maaf ni ya kalo gangguin privasi lo, tapi gue beneran kepo. Ya abis lo nggak pernah cerita sama gue sih, katanya sahabat tapi ada rahasia besar lo diem aja sama gue.”
“Mau protes apa mau nanya? Kok panjangan protesnya?”
“Hahaha..iya ya? Ok.. Ok.. Gue mau nanya. Sebenarnya ada apa sih antara lo sama Rico? Lo pacaran ya sama dia? Soalnya ni ya kalo gue perhatiin semakin lama lo tu semakin akrab sama dia. Tapi gue juga aneh, kan lo pemegang paham anti pacaran ya? Sekarang kok lo malah deket banget sama cowok tengil yang dikenal paling bengal di sekolahan, nggak masuk akal aja gitu menurut gue. Lo wajib buat jelasin ke gue, gue nggak perduli kalo lo nganggep gue terlalu ganggu privasi lo tapi kan..” cerocosan Luna dipotong sama Muti.
“STOP!! Kalo kamu ngomong terus nah kapan aku ngomongnya? Kapan aku jelasinnya?” potong Muti kalem.
“Hehehe” yang dipotong omongannya cuma nyengir kuda.
“Ini aku cerita cuma sama kamu ya? Aku deket sama Rico karena aku tahu latar belakang Rico, kenapa Rico jadi Bengal kayak gitu, tapi sebenrnya nggak gitu kok. Dia baik, dia care, dia sopan banget,…..” Muti menjelaskan panjang lebar tentang kedekatannya dengan Rico pada sahabat tersayang.
Tiba pada bulan ketiga dalam kedekatan Rico dan Muti. Pada suatu kesempatan Rico mengajak Muti ke padang ilalang di suatu sore yang cerah. Tanpa berpikir macam-macam Muti menerima ajakan Rico dan sesuai rencana, Rico akan mengungkapkan perasaannya pada Muti. Dia telah siap dengan kemungkinan terburuk, jawaban yang nggak pernah mau dia dengar dari Muti tapi paling tidak dia telah mencoba.
“Mau ngomong apa sih? Kenapa harus kesini?” Buka Muti membuka kesunyian setelah nyaris setengah jam mereka hanya diam sambil menikmati pancaran matahari sore.
“Eh iya..malah keasyikan nikmatin suasana jadi lupa kalo tadi kesini niatnya mau ngobrol sama kamu” Sahut Rico mencoba menghilangkan rasa gugupnya.
“Kamu? Sejak kapan kamu berbahasa aku kamu? Tapi aku suka, kamu jadi lebih kelihatan kalem” Jelas Muti sambil tanpa pernah melupakan senyumnya.
”Aku pengen berubah Mut, kamu mau bantu aku nggak?” Ucap Rico lirih dan tersenyum malu.
“Tentu aku mau bantu, Rico, aku seneng malah dengernya. Lagi juga selama kita deket juga aku nggak pernah ngrasa kamu kasar kok. Kamu baik lagi, tapi kalo kamu mau jadi yang lebih baik ya tentu aja aku dukung kamu” Muti antusias akan keinginan Rico.
“Apa salah kalo perubahan aku itu didasari atas rasa cintaku yang mulai tumbuh buat kamu?”
”Nggak salah kok Rico, tapi kamu jangan pernah berubah demi aku atau orang lain. Aku maunya kamu berubah karena diri kamu sendiri” Muti terkejut, mencoba menata kalimat jawabannya agar jawabannya tidak menyinggung perasaan Rico.
“Aku tahu itu. Itu makanya aku ingin bener-bener berubah agar aku merasa pantas untuk bersanding dengan kamu. Apa kamu mau mendampingi aku? Melihat perubahanku? Hingga tiba saatnya nanti kita..” Kalimat Rico langsung dipotong oleh Muti.
“Iya Co, aku mau. Aku akan selalu ada buat kamu, buat dukung perubahanmu” Tersenyum melihat Rico.
Semenjak hari itu, banyak hari yang mereka lalui berdua. Rico banyak belajar tentang agama pada Muti. Rico juga belajar untuk menjadi pribadi yang lebih tenang, tidak selalu terbawa amarah, sudah jarang keluyuran malam. Karena tiap malam selalu dia usahakan untuk berkumpul bersama Muti dan Luna untuk menyeleseikan tugas sekolah dan memfasihkan gerakan juga bacaan shalatnya.
Kedekatan Muti dan Rico pun mulai terdengar di anak-anak Rohis, tidak terkecuali ketua Rohis. Dalam beberapa kali rapat Muti selalu didiamkan oleh teman-teman dalam organisasi tersebut. Muti beberapa kali bertanya pada temannya di organisasi tersebut tapi mereka justru meminta Muti untuk merenungkan sendiri kesalahannya. Dan sampai pada akhirnya dia tahu apa yang membuat dia dijauhin oleh teman-teman Rohis. Kini muncul dilema dalam diri Muti, sementara niatnya untuk membantu Rico belum sepenuhnya terlaksana tapi reaksi teman-teman Rohis sudah begitu hebat.
Bukannya Muti tidak ingin cerita pada teman-teman Rohis, hanya saja Muti tidak ingin Rico merasa bahwa dia tidak tulus membantu, karena bukan hal tidak mungkin akan sampai di telinga Rico bahwa Muti membantu Rico atas nama Rohis. Muti tulus membantu perubahan Rico, dia ingin melihat Rico seperti dulu. Dia ingin mewujudkan harapan Rico untuk bisa menjadi Rico yang dulu, dia ingin membantu Papanya bangga lagi pada Rico akan prestasi-prestasinya seperti dulu.
Dan dalam masa perubahan Rico, ternyata ada pihak yang hendak memanfaatkan kelemahan Rico saat ini. Mereka tahu bahwa sekarang Rico tidak lagi balapan liar, merasa dendamnya belum terbalas dia berniat untuk menantang Rico dan beberapa rencana licik pun telah disiapkannya.
“Co,lo masih inget nggak sama Panca?” Tanya Ibas di waku istirahat.
“Panca? Anak SMA swasta yang pernah gue kalahin balapan dulu itu?” tebak Rico.
“Iya, dia nantangin lo lagi tu. Katanya mau balas dendam karena kekalahannya dia dulu”.
“lo bilang aja sama dia kalo gue nolak tantangannya. Gue udah nggak mau balapan-balapan gitu lagi. Gue udah janji sama diri gue sendiri kalo gue nggak mau hal-hal buruk lagi”.
“Tapi Co..”
”Nggak ada tapi-tapian. Seklai gue bilang nggak ya nggak” Memotong ucapan Ibas kemudian berlalu meninggalkan Ibas.
Tapi sebelum Rico jauh, Ibas mengejar Rico dan berbisik “Dia ngancem kalo lo nolak akan terjadi apa-apa sama Muti”
Rico menghentikan langkahnya,”gue terima tantangan dia”
Tak dipungkiri, muncul rasa bersalah dalam diri Rico karena dia terpaksa menerima tantangan Panca untuk balapan, hanya karena dia tidak ingin terjadi apa-apa pada Muti. Dia ingin selalu melindungi Muti.
Tapi di sisi lain, Muti pun mengalami dilema yang sama. Apa yang harus dia jelaskan pada teman-teman Rohisnya. Dia hanya mampu menangis di pelukan Luna sahabatnya, tak banyak yang bisa Luna lakukan kecuali meminta sahabatnya untuk terus bersabar.
Tiba pada hari di mana Rico menerima tantangan dari Panca. Tak pernah Rico bercerita tentang hal ini pada Muti karena ia tak ingin membuat Muti kecewa, begitu pun Muti tak pernah bercerita pada Rico tentang apa yang dialaminya karena Muti tak ingin membuat Rico kecewa dan mejauh darinya, hingga bisa saja membuat Rico kembali pada pergaulannya dulu.
Hari di mana Rico menerima tantangan dari Panca ternyata juga menjadi hari di mana Muti harus menjalani sidang bersama dengan ketua Rohis dan pengurus Rohis yang lain.
“Muti, sekarang jelaskan kepada kami. Kenapa kamu menjalin hubungan dengan laki-laki yang kamu sendiri paham bahwa dia bukan mahrammu?” Tanya Fadlan sang ketua Rohis tanpa basa-basi.
“Maaf Kak, bukannya kita boleh berteman dengan siapa saja ya? Saya juga tidak pernah menyatakan bahwa saya berpacaran dengan Rico karena saya sadar bahwa dia bukan mahram saya. Itu kenapa setiap saya dan dia belajar bersama saya selalu minta ditemani oleh Luna. Karena saya tidak ingin menimbulkan fitnah” jawab Muti tegas sambil mencoba menjelaskan.
“Lalu kenapa sampai timbul gosip yang tidak mengenakkan tentangmu hingga membawa-bawa nama Rohis, tidak akan ada asap jika tak ada api” Tanya Fadlan lagi.
“Baiklah Kak, mungkin sebaiknya saya jujur agar masalah ini tidak berlarut. Saya hanya mencoba membantu Rico berubah, Rico ingin menjadi lebih baik dan kebetulan kami sering bertemu dengan tidak sengaja. Rico merasa bahwa saya bisa membantunya, itu sebabnya saya menyanggupinya. Rico tidak ingin dianggap cari perhatian itu makanya kenapa dia tidak ingin banyak orang tahu apa yang menjadi keinginannya, karena semakin banyak yang tahu akan semakin besar godaannya dan mungkin saja bisa membelokkan niatan awalnya dia. Hanya sekedar itu Kak, saya tahu Kak, saya salah. Saya siap menerima hukuman dari Kakak sebagai ketua dan pengurus yang lain. Saya minta maaf, tapi itu tidak akan menyurutkan niat saya untuk terus membimbing Rico, maafkan saya yang keras kepala Kak” jawab Muti sembari pasrah pada keputusan ketua Rohis.
Tiba-tiba Luna datang tanpa mengetuk pintu dan main masuk ruang sidang begitu saja. Dengan nafas tersengal-sengal dia minta maaf pada seluruh yang hadir pada sidang tersebut. Tanpa menunggu jawaban dari pengurus Rohis, Luna langsung menarik tangan Muti dan meninggalkan ruang sidang.
“Luna, kamu apa-apaan sih. Sikap kamu ini bisa buat aku dikeluarin dari Rohis, tadi baru saja aku mau dengar keputusan mereka tentang nasib aku, tapi kamu malah…”ucapannya terpotong oleh Luna.
“Rico kecelakaan!” sergah Luna memotong perkataan Muti.
Menghentikan langkahnya. Berdiri mematung.
“A..apa? Apa kamu bilang Lun?” Tanya Muti tak percaya.
“Rico kecelakaan, tadi gue dikabarin sama Ibas. Karena katanya HP lo nggak aktif” jelas Luna perlahan.
“Nggak mungkin.. Nggak mungkin.. Apa Rico bohong sama aku? Bilang sama aku Lun, kalo Rico kecelakaan bukan karena dia ikut balapan liar” Tanya Muti berderai air mata.
“Kalo itu gue masih belum tahu Mut, sebaiknya sekarang kita ke RS. Katanya kondisi Rico lumayan parah” jawab Luna sembari menenangkan sahabatnya.
Di sepanjang perjalanan menuju Rumah Sakit, tak henti-hentinya Muti berdoa untuk keselamatan Rico, tak berhenti pula air matanya menetes, dia terus beristighfar agar ditenangkan hatinya. Tak sabar ia ingin segera sampai di Rumah Sakit dan menyaksikan sendiri bagaimana keadaan Rico.
Sesampainya di Rumah Sakit, Muti langsung menuju ICU, ruang di mana Rico dirawat. Dia tidak bisa masuk karena Rico masih harus diperiksa intensif, melihat Ibas yang duduk dengan kepala tertunduk, Muti menghampirinya. Ibas kaget begitu tahu Muti duduk di sampingnya. Dia tahu apa yang akan Muti tanyakan padanya. Dan benar saja, maka Ibas menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.
Setelah mendengar cerita Ibas, Muti mencoba paham, tapi dia masih tidak habis pikir dengan kecerobohan Rico menerima tantangan itu. Masih mencoba menenangkan pikiran dan hatinya, sambil memejamkan mata dan terus beristighfar serta berdoa untuk keselamatan Rico, tanpa sadar yang disebelahnya bukan lagi Ibas melainkan Papanya Rico.
“Muti” sapa Papa Rico.
“Eh Om, iya Om, maaf.. Maaf..” Muti membuka matanya dan membenarkan letak duduknya.
“Maaf mengganggu, sedang tidur ya?” Tanya Papa Rico merasa tidak enak.
“Tidak Om, saya tidak sedang tidur. Bagaimana keadaan Rico Om?” Tanya Muti kemudian.
“2 tulang rusuknya patah, kaki kanannya juga, terjadi perdarahan cukup besar di kepalanya, dan mengalami gegar otak ringan. Sementara itu vonis yang diberikan dokter, masih belum tahu kapan Rico bisa sadar dari komanya” jawab Papa Rico lemah.
“Astaghfirullah..sabar Om, semoga Rico diberikan umur panjang. Semoga Rico cepat sadar” Ujar Muti mencoba menenangkan Papa Rico.
“Aamiin. Terimakasih ya Muti” Yang langsung tersenyum sambil menatap Muti
Canggung dengan tatapan dari Papa Rico, Muti menundukkan kepalanya “Terimakasih untuk apa Om?”
“Karena kamu Rico kembali menjadi Rico yang dulu, sebelum Rico kehilangan Mamanya”
“Bukan karena saya, Om, tapi Rico berubah karena memang Rico mau. Saya hanya memberikan support saja.
“Karena kamu selalu ada untuk membantu dia. Dan sekarang Om bertemu langsung dengan kamu, ternyata kamu jauh lebih cantik jika dibandingkan di foto”
Muti tersenyum malu “Terimakasih Om”
Sudah 2 minggu Rico mengalami koma. Masih belum ada tanda-tanda bahwa dia akan sadar dari komanya. Tak pernah absen Muti menenguk Rico di Rumah Sakit, walaupun hanya bisa mengintip dari kaca pintu, namun sudah membuat Muti sedikit lega bahwa dia masih bisa melihat raga Rico terbaring di dalam ruang ICU.
Tak pernah putus doa dia panjatkan. Muti mulai merasa harinya jadi sedikit sepi, mulai terbiasa dengan keberadaan Rico di hari-harinya. Bersama Luna dan Rico semakin memberikan warna dalam hidup Muti. Muti pun wanita biasa, dia remaja normal yang juga mulai merasaka hadirnya perasaan lain bagi Rico, namun dia tahu bagaimana agamanya mengajarinya untuk dapat menahan rasa tersebut. Untuk tidak terjerat pada kubangan cinta palsu yang berdiri dan mengikrarkan diri dalam lingkaran pacaran. Tidak. Tidak akan pernah mau Muti melanggar ajaran agamanya.
Di lain sisi, Muti lega karena kasus kecelakaan Rico terungkap. Bahwa kecelakaan Rico disengaja oleh Panca, cowok dari SMA swasta yang menantang Rico balapan dengan niat balas dendam.
Sama seperti hari-hari sebelumnya. Sepulang sekolah Muti ke Rumah Sakit untuk menjenguk Rico. Tapi betapa terkejutnya dia ketika dia tidak melihat Rico di ruang ICU. Muti mulai panik, dia segera berlari ke ruang informasi.
“Rico” panggil Muti begitu membuka pintu ruangan tempat Rico dipindahkan.
“Muti” ucap Rico dan Papanya bersamaan.
Muti berjalan mendekati ranjang “Maaf.. Assalamu’alaikum” Sedikit malu.
“Seharusnya Om yang minta maaf, kamu pasti panik ya melihat Rico sudah tidak ada di ruang ICU? Maaf karena Om tidak kabarin kamu, takutnya ganggu kamu di sekolah. Dan malah Om keasyikan ngobrol sama Rico pas udah jam siang jadi Om lupa kabarin kamu deh” Papa Rico menjelaskan panjang lebar.
“Tidak apa-apa Om, bukan salah Om kok. Saya malah senang karena tahu kalau Rico sudah dipindah ke ruang rawat” Sahut Muti masih dengan wajah malu.
Tidak berapa lama mereka terlibat dalam obrolan asyik. Suasana makin ramai dengan kehadiran Ibas dan Luna. Tak hentinya mereka membuat kehebohan dengan gaya kocak mereka.
Di tengah obrolan seru kami, aku bersyukur pada Allah yang telah mengabulkan doaku, doa Papa Rico dan doa teman-teman kami agar Rico diberi kesembuhan dan keselamatan. Hingga kini kami dapat benar-benar berkumpul bersama lagi seperti dulu.
Tiga hari kemudian Rico sudah diperbolehkan pulang. Muti, Luna, dan Ibas meyiapkan kejutan untuk Rico di rumahnya. Ketika sampai di rumah betapa bahagianya mereka melihat rona bahagia di wajah Rico. Di sela pesta sederhana itu Rico mengajak Muti untuk berbincang berdua di teras belakang.
“Terimakasih” Rico membuka pembicaraan.
“Untuk?” Tanya Muti heran.
“Untuk semuanya, karena kamu udah mau bantu aku untuk berubah, karena kamu udah bikin aku akur lagi sama Papa, karena kamu mau berkorban untuk membantuku padahal resikonya adalah kamu harus dikucilkan oleh teman-teman Rohis kamu”
Muti tersenyum “Sama-sama Co, makasih juga karena kamu juga rela buat ngelindungin aku. Dan aku juga mau minta maaf sama kamu”
“Aku yang seharusnya minta maaf sama kamu. Karena aku seperti membuatmu melanggar komitmenmu terhadap agama kita. Aku benar-benar cowok yang nggak gentle karena berani mengajak kamu pacaran, seharusnya aku menahan perasaanku itu hingga tiba waktunya nanti ketika aku telah matang secara usia dan mental” urai Rico panjang lebar.
“Aku tidak pernah merasa pacaran sama kamu. Aku tidak pernah bilang bersedia jadi pacar kamu kan? Aku hanya bilang bahwa aku bersedia mendampingi kamu dalam niatan kamu untuk berubah menjadi lebih baik” jelas Muti tanpa ada maksud untuk menyakiti perasaan Rico.
“Jadi kita masih bisa bersahabat kan?”.
“Tentu”.
“Sampai tiba waktunya nanti aku berani melamar kamu. Dan jika Allah memberikan restu untuk kita berjodoh tentunya”.
“Rico, itu masih panjang waktunya. Mendingan sekarang kamu fokus buat pulihin kondisi kamu dan kita bareng-bareng buat sukses dulu”.
“Tapi kan optimis nggak salah?”.
“Iya Rico, kan jodoh nggak kemana” Muti tak dapat menyembunyikan rona malunya.
Dan mereka membiarkan masa depan mereka menjadi misteri yang harus mereka perjuangkan.
TAMAT




Tidak ada komentar:

Posting Komentar