DEBAR CINTA MUTIARA
Mutiara, gadis berkerudung yang biasa dipanggil Muti oleh
teman-temannya adalah gadis alim yang aktif dalam kegiatan kerohanian Islam,
itu juga yang membuatnya terlibat aktif menjadi pengurus organisasi Rohis di
sekolahnya, sebuah SMA negeri di pinggiran kota Jakarta.
“Mutiiiiiii” Terdengar suara gadis berteriak memanggil Muti
dari belakang.
“Assalamu’alaikum, Luna” Sahut Muti lembut ketika gadis yang
memanggilnya tadi telah sampai di hadapannya.
Dan gadis itu nyengir menunjukkan deretan giginya yang rapi,
“ iya Bu Ustadzah maaf, gue ulangin deh. Assalamu’alaikum, Muti” timpal gadis
itu dengan tingkah yang dibuat seimut mungkin.
“Wa’alaikumsalam, Luna. Nah gitu dong..kenapa sih?sampe heboh
teriak gitu manggil aku?” Jawab Muti sambil tersenyum geli melihat tingkah
sahabatnya.
“Nggak papa, Cuma pengen manggil aja, biar lo mau berhenti
jadi kita bisa ke kelas bareng. Hahaha” jawab Luna dengan wajah tanpa dosa.
Yang digodain Cuma bisa pasang wajah cemberut.
Luna, gadis lincah dengan wajah manis dan suka bertingkah
heboh adalah sahabat Muti semenjak SD. Berkebalikan dengan Muti yang kalem,
tapi itulah yang membuat mereka saling melengkapi. Karena mereka bisa saling
menghargai sikap masing-masing. Luna tidak berkerudung tapi Muti bisa
menghargai itu, tak pernah Muti memaksa Luna untuk berkerudung seperti dirinya.
Hari-hari mereka dilalui dengan penuh
warna, tapi tak pernah sekalipun mereka saling mendiamkan. Saat ada masalah
mereka selalu langsung menyelesaikannya.
Brukkk
“Innalillahi..maaf..maaf..aku nggak sengaja” ucap Muti merasa
bersalah.
“Lo piker gue mati lo ucapin Innalillahi??” yang ditabrak
menjawab sewot.
“Kalo kena musibah kan emang harus ngucapin itu, nggak ada
maksud buat ngucapin itu ke kamu juga kan..” penjelasan Muti terpotong.
“Ssstt…gue nggak butuh ceramah dari lo” masih dengan nada
sewot.
“Aku kan udah minta maaf..kan nggak sengaja” masih dengan
nada lembutnya.
“Yaudah sana..sana..” usir laki-laki itu dengan jengkel.
Setelah Muti meninggalkan laki-laki itu di tempatnya berdiri,
laki-laki itu pun meninggalkan tempatnya bertabrakan dengan Muti tadi sambil
menggerutu.
“Ngerusak mood gue aja tu cewek.
Emang masih jaman ya cewek pake krudung terus rok sama baju longgar gitu?
Jangan-jangan termasuk dalam jaringan teroris lagi dia? Nggak mungkin deh
kayaknya..kan dia nggak nutupin wajahnya atau mungkin dia anak teroris terus…
eh, gue apaan sih?kenapa malah penasaran sama tu cewek. Tapi emang manis sih, cuma
gue ngga suka sama penampilannya, kayak ibu-ibu. Tuh kan jadi bahas dia lagi.
Aaargh..” Gerutu Rico sepanjang perjalanan menuju kelas.
Brak..Rico menendang kursi yang
menghalangi jalannya saat dia tiba di kelas. Menduduki kursinya sambil terus
mendengus dan menggerutu.
“Kenapa sih lo, Co?datang-datang maen nendang kursi ngedumel
nggak karuan gitu” Tanya Ibas sahabat Rico.
“Sial banget gue hari ini, udah tadi dipanggil BK, kena marah
juga sama guru BK, mau balik ke kelas ditabrak sama cewek aneh eh diceramahin
lagi sama dia pas dia gue semprot,lebih parahnya lagi gue didoain meninggal,
gila ngga lo?” Cerosos Rico.
“Serius? Lo didoain mati ama tu cewek? Siapa tu cewek? Berani
amat sama Lo?” Tanya Ibas kini terlihat antusias.
“Cewek sok alim yang aktif banget di kegiatan keagamaan itu.
Yang kalo pake baju kelonggaran kayak emak-emak” jawab Rico sewot.
“Muti maksud lo? Mana mungkin dia doain lo mati, ada-ada aja
lo. Cewek manis, alim, lembut gitu lo kata aneh. Lo tu yang aneh” Kali ini Ibas
tidak setuju dengan sahabatnya.
Ketidak setujuan Ibas membuat mood Rico semakin buruk.
Saat perjalanan pulang sekolah Rico terpikir oleh ucapan Ibas
tentang gadis berkerudung itu. Sepanjang perjalanan dia membatin tentang gadis
itu. Tidak dipungkiri memang apa yang dikatakan Ibas benar bahwa Muti itu gadis
yang manis, bukan hanya secara fisik tapi tingkah lakunya dan tutur bicaranya.
Saat Rico membentak Muti tadi pun tak sedikit pun Muti menunjukkan rona marah,
bahkan bila dipikir yang bersalah di adegan tabrakan tadi bukan Muti tapi dia
sendiri yang berjalan dengan emosi tapi justru Muti yang minta maaf.
Ciiiiiiiittttt…
“Sial!!nyaris saja” gumam Rico saat dia tersadar dari
lamunannya bahwa dia hendak menabrak seseorang.
“Kamu??” gadis itu kaget ketika tahu bahwa yang hendak
menabraknya adalah teman satu sekolahnya.
“Lo lagi? Ngapain sih lo ngalangin jalan gue?” samber Rico
dengan pertanyaan yang tidak masuk akal karena saking emosi dan bingungnya dia.
“Kok malah kamu nyalahin aku? Kan kamu yang meleng? Aku juga
kan nyebrang jalan, bukan Cuma hari ini aja juga, tiap hari aku nyebrang jalan
ini karena emang rumah aku ada di seberang sana. Salah bukannya minta maaf
malah marah-marah”Jelas Muti halus.
Berasa malu dan memang dia bersalah, Rico pun minta maaf
dengan gaya gengsinya. Tidak mau memperpanjang masalah Muti memaafkannya lalu
pamit untuk pulang.
Sementara Rico masih mematung di
pinggir jalan tadi sambil memperhatikan Muti berjalan hingga hilang di tikungan
masuk ke gang arah rumahnya.
Sepertinya keadaan sering membuat Rico dan Muti bertemu
secara tidak sengaja dan dalam situasi yang sering membuat mereka salah
tingkah. Seperti halnya hari ini, sekalipun hari libur. Secara tidak sengaja
mereka bertemu di toko buku.
“Mbak, nggak mungkin kartu kredit saya nggak bisa dipake”
debat Rico saat di kasir di toko buku tersebut.
“Tapi mas, kenyataannya seperti itu. Tidak bisa digunakan
karena telah diblokir” tegas kasir itu lagi.
“Pasti Papa” gumam Rico.
“Sekalian dengan ini saja, Mbak” timpal seorang gadis.
Rico kaget, karena merasa kenal dengan suara itu. Dan saat
menoleh, benar saja tebakan Rico bahwa gadis itu adalah Muti.
“Lo?” reflek Rico memecah kekagetannya.
“Iya” jawab Muti sambil tersenyum.
Saat keduanya berjalan keluar, timbul rasa canggung pada
Rico. Dia jadi kikuk, tidak tahu apa yang harus dikatakannya pada Muti. Sampai
akhirnya ketika tiba di luar toko Rico mampu membuka mulutnya.
“Muti, ehm..thanks ya. Besok gue ganti duitnya” ujar Rico.
“Sama-sama Rico” Jawab Muti tanpa lupa memberikan senyum
manisnya. “Yaudah, aku pulang dulu ya. Assalamu’alaikum” Pamit Muti ke Rico
“Muti” Panggil Rico tiba-tiba saat Muti hendak
meninggalkannya.
Muti menghentikan langkahnya dan menoleh “Iya Rico? Ada apa
lagi?”
“Gue anterin lo pulang ya?” Tawar Rico dengan tidak yakin.
“Hmmm..” Muti pun ragu.
“Gue nggak pake motor kok. Gue bawa mobil jadi masih ada
jarak, lagi juga kan di jalan rame jadi nggak mungkin gue ngapa-ngapain lo”
Rico mencoba meyakinkan Muti.
“Baiklah, semoga ini bisa jadi awal perdamaian kita. Atau
mungkin kita bisa bersahabat” Jawab Muti sambil tersenyum manis.
Mereka berjalan beriringan menuju mobil Rico. Sepanjang
perjalanan pulang Rico mencuri-curi pandang ke Muti tanpa sepengetahuan Muti. Dan dia sadar bahwa ada
perasaan lain yang kini menggelayuti hatinya, perasaan yang belum pernah dia
rasakan sebelumnya pada perempuan mana pun. Dan ini yang dia sebut dengan jatuh
cinta. Cinta pertamanya, yang tidak pernah dia bayangkan bahwa dia akan jatuh
cinta pada gadis lugu dan kalem seperti Mutiara Annisa, gadis yang agamis, yang
sangat bertolak belakang dengan dirinya yang yah begitulah. Mana mungkin dia bisa
memikat hati Muti bila dia sendiri tahu bahwa jauh dari kata baik sebagai
seorang manusia.
Setiap harinya hanya diisi dengan bikin onar dan kenakalan
lainnya. Dia sendiri mulai berpikir kenapa dia jadi liar seperti itu semenjak
kepergian Mamanya. Kenapa dia harus mencari perhatian dari Papanya dan orang
lain dengan cara yang seperti itu. Dia mulai sadar bahwa caranya bukan
menjadikan dia diperhatikan tapi justru menjadikan dia semakin dijauhi oleh
banyak orang.
Bahkan kini Papanya tega memblokir
kartu kreditnya, dia sadar bahwa pasti banyak uang hasil keras Papanya yang
telah dia hamburkan. Untuk berfoya-foya, bahkan tidak hanya satu atau dua kali
dia gunakan uangnya itu untuk taruhan balapan liar.
“Rico..Rico..” Panggil Muti “Rico!” Panggil Muti sedikit
lebih keras.
Ciiiiiit..tanpa sadar Rico ngerem mendadak
“Aduh” Rintih Muti karena seatbeltnya mengencang saat dia
maju kedepan Karena Rico ngerem mendadak tadi
“Maaf.. Maaf.. Lo nggak papa kan? Sorry gue nggak sengaja,
gue kaget tadi denger lo manggil gue. Kenapa?” Rico merasa tidak enak pada
Muti.
“Nggak kok, aku nggak papa. Kamu sendiri kenapa kamu
ngelamun?” sahut Muti.
“Nggak kok. Eh Muti, boleh nggak kalo kita mampir dulu ke
suatu tempat?” Tanya Rico.
“Mau kemana memangnya?” Tanya Muti hati-hati.
“Cuma ke taman di deket Balaikota kok. Gimana?” tawar Rico
lagi.
“Iya nggak papa” Muti menerima tawaran Rico dengan halus dan
senyum manis khas dirinya.
Tanpa disadari Rico membalas senyum Muti yang membuat Muti
menggumam bahwa Rico tidak sebrutal yang dilihatnya selama ini. Masih ada sisi
manis dan baiknya dalam diri Rico, buktinya hari ini dia bisa melihat senyum
tulus Rico dan bahasa bicara Rico yang tidak meledak-ledak.
Saat tiba di taman tak banyak yang
mereka obrolkan, justru lebih banyak diam. Tapi Rico sempat bercerita tentang
kondisi keluarganya pada Muti yang membuat Muti paham alasan Rico terkenal
brutal selama ini.
Sejak hari itu kedekatan Rico dan Muti semakin intens,
sehingga menimbulkan kecurigaan pada Luna. Akhirnya Luna memberanikan diri
untuk bertanya pada sahabatnya, ada apa sebenarnya antara Muti dan Rico.
“Alhamdulillah, selesai juga tugas kita” ujar Muti lega.
“Iya,akhirnya ya Mut.. Eh,boleh nggak gue nanya sesuatu sama
lo?” Sahut Luna yang dilanjutkan dengan pertanyaan.
“Iya Luna,nanya aja”
“Sebelumnya maaf ni ya kalo gangguin privasi lo, tapi gue
beneran kepo. Ya abis lo nggak pernah cerita sama gue sih, katanya sahabat tapi
ada rahasia besar lo diem aja sama gue.”
“Mau protes apa mau nanya? Kok panjangan protesnya?”
“Hahaha..iya ya? Ok.. Ok.. Gue mau nanya. Sebenarnya ada apa
sih antara lo sama Rico? Lo pacaran ya sama dia? Soalnya ni ya kalo gue perhatiin
semakin lama lo tu semakin akrab sama dia. Tapi gue juga aneh, kan lo pemegang
paham anti pacaran ya? Sekarang kok lo malah deket banget sama cowok tengil
yang dikenal paling bengal di sekolahan, nggak masuk akal aja gitu menurut gue.
Lo wajib buat jelasin ke gue, gue nggak perduli kalo lo nganggep gue terlalu
ganggu privasi lo tapi kan..” cerocosan Luna dipotong sama Muti.
“STOP!! Kalo kamu ngomong terus nah kapan aku ngomongnya? Kapan
aku jelasinnya?” potong Muti kalem.
“Hehehe” yang dipotong omongannya cuma nyengir kuda.
“Ini aku cerita cuma sama kamu ya?
Aku deket sama Rico karena aku tahu latar belakang Rico, kenapa Rico jadi
Bengal kayak gitu, tapi sebenrnya nggak gitu kok. Dia baik, dia care, dia sopan
banget,…..” Muti menjelaskan panjang lebar tentang kedekatannya dengan Rico
pada sahabat tersayang.
Tiba pada bulan ketiga dalam kedekatan Rico dan Muti. Pada
suatu kesempatan Rico mengajak Muti ke padang ilalang di suatu sore yang cerah.
Tanpa berpikir macam-macam Muti menerima ajakan Rico dan sesuai rencana, Rico
akan mengungkapkan perasaannya pada Muti. Dia telah siap dengan kemungkinan
terburuk, jawaban yang nggak pernah mau dia dengar dari Muti tapi paling tidak
dia telah mencoba.
“Mau ngomong apa sih? Kenapa harus kesini?” Buka Muti membuka
kesunyian setelah nyaris setengah jam mereka hanya diam sambil menikmati
pancaran matahari sore.
“Eh iya..malah keasyikan nikmatin suasana jadi lupa kalo tadi
kesini niatnya mau ngobrol sama kamu” Sahut Rico mencoba menghilangkan rasa
gugupnya.
“Kamu? Sejak kapan kamu berbahasa aku kamu? Tapi aku suka,
kamu jadi lebih kelihatan kalem” Jelas Muti sambil tanpa pernah melupakan
senyumnya.
”Aku pengen berubah Mut, kamu mau bantu aku nggak?” Ucap Rico
lirih dan tersenyum malu.
“Tentu aku mau bantu, Rico, aku seneng malah dengernya. Lagi
juga selama kita deket juga aku nggak pernah ngrasa kamu kasar kok. Kamu baik
lagi, tapi kalo kamu mau jadi yang lebih baik ya tentu aja aku dukung kamu”
Muti antusias akan keinginan Rico.
“Apa salah kalo perubahan aku itu didasari atas rasa cintaku
yang mulai tumbuh buat kamu?”
”Nggak salah kok Rico, tapi kamu jangan pernah berubah demi
aku atau orang lain. Aku maunya kamu berubah karena diri kamu sendiri” Muti
terkejut, mencoba menata kalimat jawabannya agar jawabannya tidak menyinggung
perasaan Rico.
“Aku tahu itu. Itu makanya aku ingin bener-bener berubah agar
aku merasa pantas untuk bersanding dengan kamu. Apa kamu mau mendampingi aku?
Melihat perubahanku? Hingga tiba saatnya nanti kita..” Kalimat Rico langsung
dipotong oleh Muti.
“Iya Co, aku mau. Aku akan selalu ada
buat kamu, buat dukung perubahanmu” Tersenyum melihat Rico.
Semenjak hari itu, banyak hari yang mereka lalui berdua. Rico
banyak belajar tentang agama pada Muti. Rico juga belajar untuk menjadi pribadi
yang lebih tenang, tidak selalu terbawa amarah, sudah jarang keluyuran malam.
Karena tiap malam selalu dia usahakan untuk berkumpul bersama Muti dan Luna
untuk menyeleseikan tugas sekolah dan memfasihkan gerakan juga bacaan
shalatnya.
Kedekatan Muti dan Rico pun mulai terdengar di anak-anak
Rohis, tidak terkecuali ketua Rohis. Dalam beberapa kali rapat Muti selalu
didiamkan oleh teman-teman dalam organisasi tersebut. Muti beberapa kali
bertanya pada temannya di organisasi tersebut tapi mereka justru meminta Muti
untuk merenungkan sendiri kesalahannya. Dan sampai pada akhirnya dia tahu apa
yang membuat dia dijauhin oleh teman-teman Rohis. Kini muncul dilema dalam diri
Muti, sementara niatnya untuk membantu Rico belum sepenuhnya terlaksana tapi
reaksi teman-teman Rohis sudah begitu hebat.
Bukannya Muti tidak ingin cerita pada teman-teman Rohis,
hanya saja Muti tidak ingin Rico merasa bahwa dia tidak tulus membantu, karena
bukan hal tidak mungkin akan sampai di telinga Rico bahwa Muti membantu Rico
atas nama Rohis. Muti tulus membantu perubahan Rico, dia ingin melihat Rico
seperti dulu. Dia ingin mewujudkan harapan Rico untuk bisa menjadi Rico yang
dulu, dia ingin membantu Papanya bangga lagi pada Rico akan
prestasi-prestasinya seperti dulu.
Dan dalam masa perubahan Rico, ternyata ada pihak yang hendak
memanfaatkan kelemahan Rico saat ini. Mereka tahu bahwa sekarang Rico tidak
lagi balapan liar, merasa dendamnya belum terbalas dia berniat untuk menantang
Rico dan beberapa rencana licik pun telah disiapkannya.
“Co,lo masih inget nggak sama Panca?” Tanya Ibas di waku
istirahat.
“Panca? Anak SMA swasta yang pernah gue kalahin balapan dulu
itu?” tebak Rico.
“Iya, dia nantangin lo lagi tu. Katanya mau balas dendam
karena kekalahannya dia dulu”.
“lo bilang aja sama dia kalo gue nolak tantangannya. Gue udah
nggak mau balapan-balapan gitu lagi. Gue udah janji sama diri gue sendiri kalo
gue nggak mau hal-hal buruk lagi”.
“Tapi Co..”
”Nggak ada tapi-tapian. Seklai gue bilang nggak ya nggak”
Memotong ucapan Ibas kemudian berlalu meninggalkan Ibas.
Tapi sebelum Rico jauh, Ibas mengejar Rico dan berbisik “Dia
ngancem kalo lo nolak akan terjadi apa-apa sama Muti”
Rico menghentikan langkahnya,”gue
terima tantangan dia”
Tak dipungkiri, muncul rasa bersalah dalam diri Rico karena
dia terpaksa menerima tantangan Panca untuk balapan, hanya karena dia tidak
ingin terjadi apa-apa pada Muti. Dia ingin selalu melindungi Muti.
Tapi di sisi lain, Muti pun mengalami dilema yang sama. Apa
yang harus dia jelaskan pada teman-teman Rohisnya. Dia hanya mampu menangis di
pelukan Luna sahabatnya, tak banyak yang bisa Luna lakukan kecuali meminta
sahabatnya untuk terus bersabar.
Tiba pada hari di mana Rico menerima tantangan dari Panca.
Tak pernah Rico bercerita tentang hal ini pada Muti karena ia tak ingin membuat
Muti kecewa, begitu pun Muti tak pernah bercerita pada Rico tentang apa yang
dialaminya karena Muti tak ingin membuat Rico kecewa dan mejauh darinya, hingga
bisa saja membuat Rico kembali pada pergaulannya dulu.
Hari di mana Rico menerima tantangan dari Panca ternyata juga
menjadi hari di mana Muti harus menjalani sidang bersama dengan ketua Rohis dan
pengurus Rohis yang lain.
“Muti, sekarang jelaskan kepada kami. Kenapa kamu menjalin
hubungan dengan laki-laki yang kamu sendiri paham bahwa dia bukan mahrammu?”
Tanya Fadlan sang ketua Rohis tanpa basa-basi.
“Maaf Kak, bukannya kita boleh berteman dengan siapa saja ya?
Saya juga tidak pernah menyatakan bahwa saya berpacaran dengan Rico karena saya
sadar bahwa dia bukan mahram saya. Itu kenapa setiap saya dan dia belajar
bersama saya selalu minta ditemani oleh Luna. Karena saya tidak ingin
menimbulkan fitnah” jawab Muti tegas sambil mencoba menjelaskan.
“Lalu kenapa sampai timbul gosip yang tidak mengenakkan
tentangmu hingga membawa-bawa nama Rohis, tidak akan ada asap jika tak ada api”
Tanya Fadlan lagi.
“Baiklah Kak, mungkin sebaiknya saya jujur agar masalah ini
tidak berlarut. Saya hanya mencoba membantu Rico berubah, Rico ingin menjadi
lebih baik dan kebetulan kami sering bertemu dengan tidak sengaja. Rico merasa
bahwa saya bisa membantunya, itu sebabnya saya menyanggupinya. Rico tidak ingin
dianggap cari perhatian itu makanya kenapa dia tidak ingin banyak orang tahu
apa yang menjadi keinginannya, karena semakin banyak yang tahu akan semakin
besar godaannya dan mungkin saja bisa membelokkan niatan awalnya dia. Hanya
sekedar itu Kak, saya tahu Kak, saya salah. Saya siap menerima hukuman dari
Kakak sebagai ketua dan pengurus yang lain. Saya minta maaf, tapi itu tidak
akan menyurutkan niat saya untuk terus membimbing Rico, maafkan saya yang keras
kepala Kak” jawab Muti sembari pasrah pada keputusan ketua Rohis.
Tiba-tiba Luna datang tanpa mengetuk pintu dan main masuk
ruang sidang begitu saja. Dengan nafas tersengal-sengal dia minta maaf pada
seluruh yang hadir pada sidang tersebut. Tanpa menunggu jawaban dari pengurus
Rohis, Luna langsung menarik tangan Muti dan meninggalkan ruang sidang.
“Luna, kamu apa-apaan sih. Sikap kamu ini bisa buat aku
dikeluarin dari Rohis, tadi baru saja aku mau dengar keputusan mereka tentang
nasib aku, tapi kamu malah…”ucapannya terpotong oleh Luna.
“Rico kecelakaan!” sergah Luna memotong perkataan Muti.
Menghentikan langkahnya. Berdiri mematung.
“A..apa? Apa kamu bilang Lun?” Tanya Muti tak percaya.
“Rico kecelakaan, tadi gue dikabarin sama Ibas. Karena
katanya HP lo nggak aktif” jelas Luna perlahan.
“Nggak mungkin.. Nggak mungkin.. Apa Rico bohong sama aku?
Bilang sama aku Lun, kalo Rico kecelakaan bukan karena dia ikut balapan liar”
Tanya Muti berderai air mata.
“Kalo itu gue masih belum tahu Mut, sebaiknya sekarang kita
ke RS. Katanya kondisi Rico lumayan parah” jawab Luna sembari menenangkan
sahabatnya.
Di sepanjang perjalanan menuju Rumah Sakit, tak
henti-hentinya Muti berdoa untuk keselamatan Rico, tak berhenti pula air
matanya menetes, dia terus beristighfar agar ditenangkan hatinya. Tak sabar ia
ingin segera sampai di Rumah Sakit dan menyaksikan sendiri bagaimana keadaan
Rico.
Sesampainya di Rumah Sakit, Muti langsung menuju ICU, ruang
di mana Rico dirawat. Dia tidak bisa masuk karena Rico masih harus diperiksa
intensif, melihat Ibas yang duduk dengan kepala tertunduk, Muti menghampirinya.
Ibas kaget begitu tahu Muti duduk di sampingnya. Dia tahu apa yang akan Muti
tanyakan padanya. Dan benar saja, maka Ibas menceritakan apa yang sebenarnya
terjadi.
Setelah mendengar cerita Ibas, Muti mencoba paham, tapi dia
masih tidak habis pikir dengan kecerobohan Rico menerima tantangan itu. Masih
mencoba menenangkan pikiran dan hatinya, sambil memejamkan mata dan terus
beristighfar serta berdoa untuk keselamatan Rico, tanpa sadar yang disebelahnya
bukan lagi Ibas melainkan Papanya Rico.
“Muti” sapa Papa Rico.
“Eh Om, iya Om, maaf.. Maaf..” Muti membuka matanya dan
membenarkan letak duduknya.
“Maaf mengganggu, sedang tidur ya?” Tanya Papa Rico merasa
tidak enak.
“Tidak Om, saya tidak sedang tidur. Bagaimana keadaan Rico
Om?” Tanya Muti kemudian.
“2 tulang rusuknya patah, kaki kanannya juga, terjadi
perdarahan cukup besar di kepalanya, dan mengalami gegar otak ringan. Sementara
itu vonis yang diberikan dokter, masih belum tahu kapan Rico bisa sadar dari
komanya” jawab Papa Rico lemah.
“Astaghfirullah..sabar Om, semoga Rico diberikan umur panjang.
Semoga Rico cepat sadar” Ujar Muti mencoba menenangkan Papa Rico.
“Aamiin. Terimakasih ya Muti” Yang langsung tersenyum sambil
menatap Muti
Canggung dengan tatapan dari Papa Rico, Muti menundukkan
kepalanya “Terimakasih untuk apa Om?”
“Karena kamu Rico kembali menjadi Rico yang dulu, sebelum
Rico kehilangan Mamanya”
“Bukan karena saya, Om, tapi Rico berubah karena memang Rico
mau. Saya hanya memberikan support saja.
“Karena kamu selalu ada untuk membantu dia. Dan sekarang Om
bertemu langsung dengan kamu, ternyata kamu jauh lebih cantik jika dibandingkan
di foto”
Muti tersenyum malu “Terimakasih Om”
Sudah 2 minggu Rico mengalami koma. Masih belum ada
tanda-tanda bahwa dia akan sadar dari komanya. Tak pernah absen Muti menenguk
Rico di Rumah Sakit, walaupun hanya bisa mengintip dari kaca pintu, namun sudah
membuat Muti sedikit lega bahwa dia masih bisa melihat raga Rico terbaring di
dalam ruang ICU.
Tak pernah putus doa dia panjatkan. Muti mulai merasa harinya
jadi sedikit sepi, mulai terbiasa dengan keberadaan Rico di hari-harinya.
Bersama Luna dan Rico semakin memberikan warna dalam hidup Muti. Muti pun
wanita biasa, dia remaja normal yang juga mulai merasaka hadirnya perasaan lain
bagi Rico, namun dia tahu bagaimana agamanya mengajarinya untuk dapat menahan
rasa tersebut. Untuk tidak terjerat pada kubangan cinta palsu yang berdiri dan
mengikrarkan diri dalam lingkaran pacaran. Tidak. Tidak akan pernah mau Muti
melanggar ajaran agamanya.
Di lain sisi, Muti lega karena kasus kecelakaan Rico
terungkap. Bahwa kecelakaan Rico disengaja oleh Panca, cowok dari SMA swasta
yang menantang Rico balapan dengan niat balas dendam.
Sama seperti hari-hari sebelumnya.
Sepulang sekolah Muti ke Rumah Sakit untuk menjenguk Rico. Tapi betapa
terkejutnya dia ketika dia tidak melihat Rico di ruang ICU. Muti mulai panik,
dia segera berlari ke ruang informasi.
“Rico” panggil Muti begitu membuka pintu ruangan tempat Rico
dipindahkan.
“Muti” ucap Rico dan Papanya bersamaan.
Muti berjalan mendekati ranjang “Maaf.. Assalamu’alaikum” Sedikit
malu.
“Seharusnya Om yang minta maaf, kamu pasti panik ya melihat
Rico sudah tidak ada di ruang ICU? Maaf karena Om tidak kabarin kamu, takutnya
ganggu kamu di sekolah. Dan malah Om keasyikan ngobrol sama Rico pas udah jam
siang jadi Om lupa kabarin kamu deh” Papa Rico menjelaskan panjang lebar.
“Tidak apa-apa Om, bukan salah Om kok. Saya malah senang karena
tahu kalau Rico sudah dipindah ke ruang rawat” Sahut Muti masih dengan wajah
malu.
Tidak berapa lama mereka terlibat dalam obrolan asyik.
Suasana makin ramai dengan kehadiran Ibas dan Luna. Tak hentinya mereka membuat
kehebohan dengan gaya kocak mereka.
Di tengah obrolan seru kami, aku bersyukur pada Allah yang
telah mengabulkan doaku, doa Papa Rico dan doa teman-teman kami agar Rico
diberi kesembuhan dan keselamatan. Hingga kini kami dapat benar-benar berkumpul
bersama lagi seperti dulu.
Tiga hari kemudian Rico sudah diperbolehkan pulang. Muti,
Luna, dan Ibas meyiapkan kejutan untuk Rico di rumahnya. Ketika sampai di rumah
betapa bahagianya mereka melihat rona bahagia di wajah Rico. Di sela pesta
sederhana itu Rico mengajak Muti untuk berbincang berdua di teras belakang.
“Terimakasih” Rico membuka pembicaraan.
“Untuk?” Tanya Muti heran.
“Untuk semuanya, karena kamu udah mau bantu aku untuk
berubah, karena kamu udah bikin aku akur lagi sama Papa, karena kamu mau
berkorban untuk membantuku padahal resikonya adalah kamu harus dikucilkan oleh
teman-teman Rohis kamu”
Muti tersenyum “Sama-sama Co, makasih juga karena kamu juga
rela buat ngelindungin aku. Dan aku juga mau minta maaf sama kamu”
“Aku yang seharusnya minta maaf sama kamu. Karena aku seperti
membuatmu melanggar komitmenmu terhadap agama kita. Aku benar-benar cowok yang
nggak gentle karena berani mengajak kamu pacaran, seharusnya aku menahan
perasaanku itu hingga tiba waktunya nanti ketika aku telah matang secara usia
dan mental” urai Rico panjang lebar.
“Aku tidak pernah merasa pacaran sama kamu. Aku tidak pernah
bilang bersedia jadi pacar kamu kan? Aku hanya bilang bahwa aku bersedia
mendampingi kamu dalam niatan kamu untuk berubah menjadi lebih baik” jelas Muti
tanpa ada maksud untuk menyakiti perasaan Rico.
“Jadi kita masih bisa bersahabat kan?”.
“Tentu”.
“Sampai tiba waktunya nanti aku berani melamar kamu. Dan jika
Allah memberikan restu untuk kita berjodoh tentunya”.
“Rico, itu masih panjang waktunya. Mendingan sekarang kamu
fokus buat pulihin kondisi kamu dan kita bareng-bareng buat sukses dulu”.
“Tapi kan optimis nggak salah?”.
“Iya Rico, kan jodoh nggak kemana” Muti tak dapat
menyembunyikan rona malunya.
Dan mereka membiarkan masa depan mereka menjadi misteri yang
harus mereka perjuangkan.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar