Minggu, 16 November 2014

Because of Your Sister

BECAUSE  OF YOUR SISTER
Ku rebahkan tubuhku begitu aku telah sampai di kamarku.
“Capek, Sayang?” Tanya Mama lembut kepadaku.
“Iya, Ma, tapi nggak papa kok. Capeknya itu capek seneng” Aku bagun dari tidurku, duduk untuk bisa memeluk manja Mamaku.
Mama membelai lembut kepalaku, “Apapun yang membuatmu bahagia, Mama pasti ikut bahagia”.
“Terimakasih, Ma” Aku mencium lembut pipi Mama dan memperat pelukanku.
Bahagianya aku memiliki orangtua yang begitu menyayangiku, meskipun hidup kami sederhana tapi rumah kami kaya akan cinta.
“Bu Priya, selamat pagi, Bu” Sapa seorang lelaki dari belakangku.
Aku membalikkan badan, “Selamat pagi juga, Pak Amin” kemudian aku menyalaminya.
“Maaf, Bu. Bisa bantu saya membujuk Mita biar mau turun mobil dan bersekolah?” Pinta Pak Amin, sopir Mita, muridku.
“Baik Pak, mari” Aku mengikuti Pak Amin dari belakang.
Sampai di dekat mobil Mita, aku melihat dia tengah sibuk memainkan gadgetnya. Sesekali dia menangis, kemudia tersenyum kecil. Sengaja aku tidak langsung membujuknya, aku harus menentukan langkah tepat untuk bisa membujuk Mita agar dia tidak semakin marah.
“Mita, Sayang, kamu lagi apa?” Aku mengawali bujukanku dengan obrolan. Dan Mita hanya diam saja.
“Hmm.. Sedihnya Bu Priya nggak dapat jawaban dari Mita, padahal Bu Priya pengen temenan sama Mita” Aku menampilkan raut muka sedih.
“Bu Priya nggak boleh nangis, Mita nggak suka lihat orang nangis. Mita benci nangis” Mita sudah mau membuka suara.
“Kalau Mita nggak suka lihat orang nangis kenapa Mita sendiri sedih? Kenapa Mita nggak mau sekolah?” Tanyaku halus pada Mita.
“Mita kangen sama Papa sama Mama, kenapa Papa sama Mama perginya lama banget Bu? Kenapa Papa sama Mama nggak pulang-pulang? Emang Papa sama Mama nggak kangen sama Mita sama Kak Ali?” Mita mulai menangis di dekapanku.
Lebih dari 30 menit aku membujuknya, aku biarkan dia menceritakan kesedihannya. Aku biarkan dia menangis dan mencurahkan segala rasa sakitnya, rasa rindunya kepa kedua orangtuanya. Aku ikut berpikir, bagaimana caranya menjelaskan pada Mita bahwa orangtuanya telah meninggal, agar dia tidak terus menunggu kepulangan orangtuanya. Bagaimana membuat dia yakin bahwa orangtuanya tak mungkin bisa lagi hadir secara dalam hari-harinya.
Aku hanya sanggup memeluknya erat, entah kenapa aku merasa begitu dekat dengannya. Sampai pada tangisnya berhenti dan dia mau untuk masuk sekolah.
“Anak-anak, anak-anak tahu surga nggak?” Tanyaku pada seluruh siswa di kelasku.
“Tauuuu. Saya tidak tahu. Apa itu surga?” Berbagai macam jawaban dari mulut siswa-siswaku membuatku tersenyum.
Ya, aku memang seorang guru di Sekolah Luar Biasa. Setiap hari aku berhadapan dengan anak-anak tunagrahita sedang. Tidak, jangan pernah bilang mereka idiot, mereka tidak idiot, justru mereka spesial. Bersama mereka, aku menemukan kejujuran, kepolosan. Sehausnya begitulah hidup. Bukan sandiwara belaka, bukan cerita yang kita reka, tapi apa adanya.
Seperti biasa, sepulang sekolah aku menemani Mita hingga jemputannya datang. Mita terus bercerita tentang  kakak lelakinya, betapa dia bangga dan bahagia memiliki kakak yang selalu menyayanginya tulus. Sebenarnya Mita itu seumuran denganku, hanya karena dia tunagrahita, makanya dia masih terlihat seperti anak kecil dalam bertingkah. Akhirnya, jemputan Mita datang. Tapi..
“Maaf, Bu, saya terlambat menjemput Mita” Kata lelaki itu sembari menjabat tanganku.
“Anda?” Tanyaku penasaran.
“Oh iya, maaf, saya Ali. Kakaknya Mita, Pak Amin harus pulang kampung karena katanya istrinya masuk Rumah Sakit” Lelaki yang ternyata kakaknya Mita tadi menjelaskan.
“Oh, maaf, saya hanya takut kalau-kalau..” Ucapanku terpotong.
“Tidak apa-apa. Wajar kok, Anda mungkin takut saya adalah..” Ganti aku yang memotong kalimatnya karena aku malu sudah menduganya yang bukan-bukan.
Ali sempat menawarkan untuk mengantarkanku pulang, tapi aku menolaknya Karena aku membawa kendaraan sendiri.
Setelah pertemuan itu, entah kenapa sering aku bermimpi tentang Ali. Apa aku jatuh cinta? Ah, sudahlah. Sebaiknya aku lupakan rasa itu. Karena tidak mungkin aku pantas bersanding dengannya.
Aku mendengar lagu Need You Know milik Lady Antebellum berdendang, pertanda ada telpon masuk di handphone-ku.
“Siapa sepagi ini meneleponku” Batinku yang tengah mengeringkan rambut.
Tercantum nomor tanpa nama, “Halo, selamat pagi” Sapaku lembut.
“Selamat pagi, apa benar ini Bu Priya?” Tanya sana penelepon sopan.
“Iya benar, maaf ini siapa?”  Tanyaku balik.
“Saya Ali, Bu” Jawaban dari seberang telepon itu membuat detak jantungku berhenti seketika, “Halo.. Halo.. Bu Priya, apa Anda mendengar suara saya? Apakah saya telah mengganggu Anda?” Aku tak sadar jika aku melamun, dan suara di sana terus memanggil untuk menyadarkanku.
“Oh,maaf Pak. Tadi saya..” Kalimatku terpotong.
“Bu Priya, jangan panggil saya Pak, panggil nama saja” pinta Ali sambil tertawa pelan.
“Tapi, tidak enak Pak. Kan Anda wali dari murid saya” Aku menjelaskan pada Ali.
“Kalau di lingkungan sekolah saya setuju Anda memanggil saya dengan sebutan Bapak, tapi saya mohon ketika di luar itu panggil saja saya Ali. Bagaimana?” Ali menawarkan perjanjian.
Obrolan kami yang sudah melenceng jauh itu kembali aku luruskan. Kenapa sampai sepagi tiu dia harus meneleponku. Dan telepon di pagi itu adalah awal dari kedekatan kami. Tak salah jika aku mengagumi sosoknya, Ali, lelaki 26 tahun, seorang pengusaha muda dengan fisik yang bisa dikatakan sempurna, wajah tampan blasteran Indonesia-Yaman, tubuh tinggi atletis, namun dengan kesempurnaan fisik  yang dia miliki, dia tak pernah malu mengakui bahwa dia memiki seorang adik tunagrahita, sopan dan halus tutur bicaranya, dia begitu rendah hati, dermawan, yah sempurna, hanya satu kata itu yang tepat untuk menggambarkan bagaimana sosok Ali.
“Terimakasih, Priya” Kata Ali setelah kami mendapatkan tempat duduk.
“Sama-sama Ali, aku seneng kok bisa nemenin kamu sama Mita jalan-jalan” Jawabku sambil tersenyum dan memandang teduh Ali.
“Aku senang bisa dekat sama kamu, aku senang karena kamu bisa akrab dengan Mita. Jujur, begitu banyak wanita yang ingin dekat denganku, tapi aku tahu apa maksud mereka dan mereka belum tentu bisa nerima keberadaan Mita, buat aku, kenyamanan Mita dengan perempuan yang akan mendampingiku nanti lebih dari apapun” Ungkap Ali panjang lebar dan aku tak menangkap maksudnya.
“Mita dan teman-temannya itu spesial menurutku dan entah kenapa aku begitu mudahnya dekat dengan Mita dari sejak pertama aku masuk ke SLB itu. Aku senang mendengar ceritanya tentang keluarganya, aku seperti ngerasain sakit hatinya waktu dia ingat kedua orangtuanya, dan aku bangga ketika dia bercerita tentang kakaknya yang begitu menyayanginya” Kataku jujur sambil merapikan makanan Mita yang tercecer.
“Dan bagaimana setelah kamu tahu bahwa kakaknya Mita itu adalah aku?” Tanya Ali membuatku salah tingkah.
“Ah..ya itu, aku” Aku bingung harus menjawab apa, “Aku, maksudnya ya berarti benar apa yang dikatakan Mita tentang kamu” Sambil menenangkan perasaanku sendiri.
Kami melanjutkan acara kami hari itu ke danau dekat dengan bumi perkemahan, aku berkejaran dengan Mita dan Ali hanya memperhatikan kami dengan terus tersenyum. Aku gemas melihatnya, maka ku tarik dia untuk ikut aku dan Mita berkejaran. Aku dan Ali mengejar Mita, lucu melihat tingkahnya yang polos dan mirip sekali dengan anak kecil. Tanpa sengaja aku dan Ali bersamaan menangkap Mita sehingga kami nyaris berpelukan dengan posisi Mita berada di antara kami.
“Ya Tuhan, alihkan aku dari matanya. Betapa aku mengaguminya, bukan, aku bukan sekedar mengaguminya, bahkan aku mencintainya” Gumamku saat aku beradu pandang dengan Ali.
“Menikahlah denganku” Ungkap Ali dalam dan lirih namun terdengar jelas olehku.
“A..apa?” Kataku tak percaya akan pernyataannya.
“Aku mohon padamu, menikahlah denganku, Priya” Ali mengulangi penyataannya sambil menggenggam erat tanganku kini.
“Tapi, kita..” Aku bahagia tapi juga bingung.
“Priya, jujur, aku belum pernah mengenal yang namanya pacaran dan aku merasakan benar-benar jatuh cinta adalah sejak bertemu sama kamu, aku bukan tipe orang yang suka mempermainkan perempuan, aku ingin sekali seumur hidup dan sekarang aku menemukanmu, aku tak ingin menyiakanmu. Sekali lagi, Priya, aku mohon menikahlah denganku” Ali kembali mengulang pernyataannya masih dengan menggenggam erat tanganku dan tatapan teduhnya.
Aku perhatikan Mita yang tengah asyik bermain dengan bonekanya di rerumputan. Aku tersenyum melihatnya, aku begitu menyayanginya. Inikah arti dari betapa emosionilnya aku terhadap segala perasaannya? Bahwa kami…
“Aku bersedia” Aku menjawab pernyataan Ali dengan linangan air mata haru.
Ali langsung mendekapku dalam pelukan hangatnya. Betapa damai, betapa teduh, betapa tenang dan nyaman ketika aku dalam rengkuhannya saat ini. Di tengah pelukan kami tiba-tiba datang Mita yang turut memeluk kami sambil dia tertawa senang.
TAMAT

 Note: ini menurut saya acak2an banget ceritanya..ga banget deh buat dipublikasiin tapi kata temen kalo dibuang sayang,,hehehe
yaaaaa..jadinya publikasiin aja biar tau salahnya dimana
sama komen temen2 gimana
:D

Kita dalam Opera

Kita dalam Opera

Kita seperti pemain dalam suatu panggung opera
Memerankan segalanya harus tanpa cela
Sempurna itu wajib
Penilaian, cibiran, kritikan akan selalu muncul selama jalannya pementasan
Tapi standing applaus akan muncul saat drama berakhir
Aku, kamu, ku pinta kita jangan pernah perdulikan mereka saat kita berperan
Jangan dengarkan mereka yang sanggup memecah konsentrasi kita dalam opera ini
Berperanlah dengan hati
Tutup telinga sepanjang pementasan
Lakukan yang terbaik
Tunggu dan saksikan mereka memberikan standing applaus untuk kita

Selasa, 11 November 2014

cerpen - Gadis Senja

GADIS SENJA
Sore hari itu aku putuskan untuk hunting foto di pantai, ku manfaatkan masa liburanku ini sebaik mungkin. Ku arahkan kameraku ke view-view yang terlihat cantik di senja itu. Sampai akhirnya kameraku berhenti pada sosok gadis yang tengah berdiri sendiri di bibir pantai, dia seperti tengah menikmati senja yang sebentar lagi habis terganti oleh malam.
Ku bidik sosok gadis itu dengan kameraku. Pas sekali posisinya dan sangat natural menyatu dengan kondisi. Seperti menggambarkan bahwa Sang Gadis teramat takut kehilangan senja, takut senja tak akan kembali esok hari. Ku lihat hasil jepretanku dan sosok gadis itulah yang paling sempurna dibandingkan dengan hasil jepretanku yang lainnya sore itu.
“Cara gadis itu menikmati senja, seperti hendak bercerita sesuatu. Saat matahari benar-benar akan tenggelam dengan jelas ku lihat gadis itu seperti ingin meraih dan memanggil sang nirwana agar ia ak tenggelam, takut untuk kehilangan senja itu. Siapa sebenarnya gadis itu?” aku bergumam penasaran.
Kriiiiiiing…kriiiiiiiiiing…
“Ya halo??” kuangkat telepon itu dengan malas.
“Bian, kamu di mana sih Nak sebenarnya?” terselip isak tangis pula dari pertanyaan itu.
“Bian aman kok Mam, Bian nggak macem-macem” jawabku singkat.
“Kamu kenapa harus pergi seperti ini sih? Apa sulitnya kamu penuhin keinginan Mami sama Papi?” semakin keras saja ibuku menangis.
“Mam, kalau Mami telepon Bian Cuma buat bahas perjodohan itu lebih baik Mami tutup teleponnya sekarang atau Bian nggak akan pernah angkat telepon dari Mami lagi” ancamku pada ibuku.
Ya, alasanku bisa sampai di sini adalah karena aku melarikan diri dari perjodohan. Orangtuaku berniat menjodohkanku dengan anak sahabatnya, menurut info dari orangtuaku gadis itu manis, mandiri, dan bernama Azana, biasa dipanggil Ay. Tapi deskripsi dari orangtuaku belum mampu membuatku tertarik.
Sore hari itu ku putuskan untuk ke pantai itu lagi, dan benar saja. Ku temukan lagi gadis itu tengah berdiri di bibir pantai menikmati senja. Kini tak ingin ku sia-siakan kesempatan ini untuk kenal dengannya. Sengaja aku memotretnya dari dekat agar ada alasan untukku dekat padanya.
“Ah..” gadis itu kaget sepertinya, terlihat dari refleknya dia menutupi wajahnya dengan kedua tangannya ketika blitz kameraku menyilaukan pandangannya.
“Maaf..terlalu dekat ya?”modusku kurang tepat sepertinya.
“Kamu motret aku? Buat apa?” Tanya gadis itu polos.
“Kemarin dan hari ini aku melihatmu menikmati senja, seperti ada yang ingin kamu ceritakan tentang senja tapi kamu nggak bisa ungkapin itu, makanya kamu pendam sendiri. Eh..maaf kalau lancang” aku merasa tidak enak hati karena seperti sok tahu tentang kehidupannya.
“Iya, kamu bener. Aku suka sekali senja, aku sering takut kalau senja pergi. Aku takut senja nggak akan kembali lagi esok” lalu gadis itu tersenyum
“Apa boleh aku tahu nama kamu? Aku Bian” aku menjulurkan tangan padanya.
“Naya, Kanaya lengkapnya” jawabnya menyambut uluran tanganku.
“Apa boleh kalau kamu jadi modelku? Kapan kita bisa ketemu lagi?” tanyaku to the point.
“Saat senja, saat cerah. Di sini. Aku selalu di sini” jawab Naya lembut.
Sejak perkenalan itu kami semakin akrab dan semakin akrab. Hingga tanpa kusadari telah tumbuh cinta di hatiku untuk gadis itu, Naya.
Senja demi senja kami lewatin bersama-sama. Dia begitu senang dan begitu menikmati setiap gayanya ketika aku memotretnya. Natural dan tidak dibuat-buat. Raut wajahnya seperti bercerita tanpa dia harus mengeluarkan suara. Dari kedekatan kami, sebenarnya ada hal yang mengganjal dalam hatiku. Setiap aku ingin mengantarkannya pulang dia selalu menolak, dia selalu beralasan ingin pulang sendiri saja.
Aku hargai keinginannya dan aku jaga privasinya, hingga belum pernah terpikir olehku untuk mengikutinya ketika dia pulang. Tapi suatu sore, tanpa sengaja aku melihatnya bertegur sapa dengan ibu-ibu penjual souvenir di dekat pantai.
“Gue yakin sama apa yang gue rasain. Gue cinta sama Naya” gumamku ketika ku rebahkan tubuhku di kasur. “Besok, akan ku coba peruntunganku. Akan ku nyatakan cintaku, apapun hasilnya” ujarku optimis.
“Hei Bung, sampai kapan lo mau ninggalin kantor?” cerocos Vino, sahabat sekaligus partnerku.
“Sampai gue bisa bawa pulang Naya, bilang ke orangtua gue kalau gue udah punya pilihan sendiri” jawabku.
“Gokiiiiiiiilllll…jadi beneran ketemu jodoh ni di sana?” Vino mulai mengulik tentangku.
“Baru suka, belum bilang ke dia tentang perasaan gue. Dan gue berencana besok mau ungkapin perasaan gue” ceritaku dengan sedikit rona malu.
Dan obrolan via teleponku dengan Vino berakhir dengan doa dia untuk keberhasilanku mendapatkan hati Sang Gadis Senja, Naya.
Cuaca cerah, semoga bertahan hingga senja nanti. Karena aku berniat untuk menyatakan rasaku pada Gadis Senjaku. Dan waktu yang kutunggu-tunggu datang, sore hari.
Segera ku bawa kameraku berlari, tak lupa aku membeli bunga yang hendak ku serahkan pada Naya. Tapi sore itu tak kutemui kehadiran Naya di sana, menunggu dan menunggu hingga senja benar-benar ditelan malam masih tak ada tanda-tanda bahwa Naya akan datang.
“Mungkin dia sedang ada urusan dan esok senja akan hadir lagi” gumamku.
Dan esok hari, saat senja masih saja aku setia menanti Naya dan masih saja dia tak hadir di senja hari ini. Seperti itulah yang terjadi di senja berikutnya, Naya masih juga tidak hadir. Tiba-tiba aku teringat sesuatu, ya ibu-ibu yang pernah bertegur sapa dengan Naya.
Benar saja, senja itu ku temui ibu-ibu itu ketika dia tengah membereskan barang dagangannya. Aku menunggunya hingga dia benar-benar selesai berberes. Betapa terkejutnya aku dengan apa yang diceritakan Ibu tadi.
“Memang yang kamu temui selama ini adalah Naya, tapi hanya jiwanya tidak beserta raganya” jawaban singkat dari ibu pedagang itu sempat membuatku terperangah tak percaya dalam satu hingga dua menit.
“Nggak mungkin Bu, saya punya foto-fotonya. Saya bisa tunjukkan pada Ibu” betapa terkejutnya aku ketika kubuka file-file di kameraku yang harusnya ada Naya di situ menjadi hanya berupa view.
“Mari ikut saya, saya tunjukkan rumah Naya padamu, Nak” ibu itu menawarkan diri untuk mengantarku ke rumah Naya.
“Baik Bu” dan aku mengikuti ibu itu.
Tidak terlalu jauh jarak rumah Naya dengan pantai. Hanya perlu 45 menit berjalan kaki, sebuah perumahan yang asri dan ramah. Aku berdiri tepat di depan rumah Naya yang malam itu terlihat ramai, aku penasaran dan aku masuk ke gerbang. Ku beranikan diri untuk menyapa salah seorang di sana untuk sekedar bertanya benarkah ini rumah Kanaya.
“Permisi, Pak, apa benar ini rumah Naya? Maksud saya Kanaya” tanyaku to the point kepada seorang lelaki berpostur tinggi yang mengenakan pakaian serba hitam dan sedang menyalami tamu-tamu yang hadir.
“Iya benar, adik ini siapa?” Tanya laki-laki itu penasaran karena mungkin baru pertama kali melihatku.
“Saya Bian, Fabian, temannya Naya, Pak”
Tiba-tiba laki-laki itu memelukku dan terisak “Ikhlaskanlah Nak, Naya sudah pergi, mungkin ini yang terbaik baginya setelah koma selama 2 bulan ini”
“Naya?koma?karena apa?” tanyaku seakan aku masih tidak percaya.
“2 bulan yang lalu, Naya mengalami kecelakaan cukup hebat ketika dia pulang dari lokasi pemotretan. Jalanan yang dilaluinya licin setelah hujan, dia tidak bisa mengendalikan laju mobilnya. Sehingga terjadilah kecelakaan itu yang menyebabkan patahnya tulang belakang Naya dan pembengkakan pada jantungnya karena benturan keras di dada kirinya. Sejak itulah Naya koma dan sampai dia mendapatkan jalan terbaiknya hari ini” laki-laki yang ternyata adalah Pamannya Naya menjelaskan padaku kronologi kecelakaan Naya.
Aku mendekati jasad Naya, aku melihatnya benar-benar dekat dan aku melihatnya tersenyum. “Naya senang berkenalan denganmu, Gadis Senjaku” ucapku lirih.
Percayalah Naya, senja yang berlalu pada hari ini akan hadir lagi esok. Jangan takut lagi ketika senja itu berganti dengan malam dan bagiku senja bukanlah masa lalu. Tapi senja adalah masa depan yang akan terus hadir dengan warna dan cerita yang berbeda.
Selamat jalan Naya, Gadis Senjaku.

TAMAT

cerpen - Debar Cinta Mutiara

DEBAR CINTA MUTIARA
Mutiara, gadis berkerudung yang biasa dipanggil Muti oleh teman-temannya adalah gadis alim yang aktif dalam kegiatan kerohanian Islam, itu juga yang membuatnya terlibat aktif menjadi pengurus organisasi Rohis di sekolahnya, sebuah SMA negeri di pinggiran kota Jakarta.
“Mutiiiiiii” Terdengar suara gadis berteriak memanggil Muti dari belakang.
“Assalamu’alaikum, Luna” Sahut Muti lembut ketika gadis yang memanggilnya tadi telah sampai di hadapannya.
Dan gadis itu nyengir menunjukkan deretan giginya yang rapi, “ iya Bu Ustadzah maaf, gue ulangin deh. Assalamu’alaikum, Muti” timpal gadis itu dengan tingkah yang dibuat seimut mungkin.
“Wa’alaikumsalam, Luna. Nah gitu dong..kenapa sih?sampe heboh teriak gitu manggil aku?” Jawab Muti sambil tersenyum geli melihat tingkah sahabatnya.
“Nggak papa, Cuma pengen manggil aja, biar lo mau berhenti jadi kita bisa ke kelas bareng. Hahaha” jawab Luna dengan wajah tanpa dosa.
Yang digodain Cuma bisa pasang wajah cemberut.
Luna, gadis lincah dengan wajah manis dan suka bertingkah heboh adalah sahabat Muti semenjak SD. Berkebalikan dengan Muti yang kalem, tapi itulah yang membuat mereka saling melengkapi. Karena mereka bisa saling menghargai sikap masing-masing. Luna tidak berkerudung tapi Muti bisa menghargai itu, tak pernah Muti memaksa Luna untuk berkerudung seperti dirinya.
Hari-hari mereka dilalui dengan penuh warna, tapi tak pernah sekalipun mereka saling mendiamkan. Saat ada masalah mereka selalu langsung menyelesaikannya.
Brukkk
“Innalillahi..maaf..maaf..aku nggak sengaja” ucap Muti merasa bersalah.
“Lo piker gue mati lo ucapin Innalillahi??” yang ditabrak menjawab sewot.
“Kalo kena musibah kan emang harus ngucapin itu, nggak ada maksud buat ngucapin itu ke kamu juga kan..” penjelasan Muti terpotong.
“Ssstt…gue nggak butuh ceramah dari lo” masih dengan nada sewot.
“Aku kan udah minta maaf..kan nggak sengaja” masih dengan nada lembutnya.
“Yaudah sana..sana..” usir laki-laki itu dengan jengkel.
Setelah Muti meninggalkan laki-laki itu di tempatnya berdiri, laki-laki itu pun meninggalkan tempatnya bertabrakan dengan Muti tadi sambil menggerutu.
“Ngerusak mood gue aja tu cewek. Emang masih jaman ya cewek pake krudung terus rok sama baju longgar gitu? Jangan-jangan termasuk dalam jaringan teroris lagi dia? Nggak mungkin deh kayaknya..kan dia nggak nutupin wajahnya atau mungkin dia anak teroris terus… eh, gue apaan sih?kenapa malah penasaran sama tu cewek. Tapi emang manis sih, cuma gue ngga suka sama penampilannya, kayak ibu-ibu. Tuh kan jadi bahas dia lagi. Aaargh..” Gerutu Rico sepanjang perjalanan menuju kelas.
Brak..Rico menendang kursi yang menghalangi jalannya saat dia tiba di kelas. Menduduki kursinya sambil terus mendengus dan menggerutu.
“Kenapa sih lo, Co?datang-datang maen nendang kursi ngedumel nggak karuan gitu” Tanya Ibas sahabat Rico.
“Sial banget gue hari ini, udah tadi dipanggil BK, kena marah juga sama guru BK, mau balik ke kelas ditabrak sama cewek aneh eh diceramahin lagi sama dia pas dia gue semprot,lebih parahnya lagi gue didoain meninggal, gila ngga lo?” Cerosos Rico.
“Serius? Lo didoain mati ama tu cewek? Siapa tu cewek? Berani amat sama Lo?” Tanya Ibas kini terlihat antusias.
“Cewek sok alim yang aktif banget di kegiatan keagamaan itu. Yang kalo pake baju kelonggaran kayak emak-emak” jawab Rico sewot.
“Muti maksud lo? Mana mungkin dia doain lo mati, ada-ada aja lo. Cewek manis, alim, lembut gitu lo kata aneh. Lo tu yang aneh” Kali ini Ibas tidak setuju dengan sahabatnya.
Ketidak setujuan Ibas membuat mood Rico semakin buruk.
Saat perjalanan pulang sekolah Rico terpikir oleh ucapan Ibas tentang gadis berkerudung itu. Sepanjang perjalanan dia membatin tentang gadis itu. Tidak dipungkiri memang apa yang dikatakan Ibas benar bahwa Muti itu gadis yang manis, bukan hanya secara fisik tapi tingkah lakunya dan tutur bicaranya. Saat Rico membentak Muti tadi pun tak sedikit pun Muti menunjukkan rona marah, bahkan bila dipikir yang bersalah di adegan tabrakan tadi bukan Muti tapi dia sendiri yang berjalan dengan emosi tapi justru Muti yang minta maaf.
Ciiiiiiiittttt…
“Sial!!nyaris saja” gumam Rico saat dia tersadar dari lamunannya bahwa dia hendak menabrak seseorang.
“Kamu??” gadis itu kaget ketika tahu bahwa yang hendak menabraknya adalah teman satu sekolahnya.
“Lo lagi? Ngapain sih lo ngalangin jalan gue?” samber Rico dengan pertanyaan yang tidak masuk akal karena saking emosi dan bingungnya dia.
“Kok malah kamu nyalahin aku? Kan kamu yang meleng? Aku juga kan nyebrang jalan, bukan Cuma hari ini aja juga, tiap hari aku nyebrang jalan ini karena emang rumah aku ada di seberang sana. Salah bukannya minta maaf malah marah-marah”Jelas Muti halus.
Berasa malu dan memang dia bersalah, Rico pun minta maaf dengan gaya gengsinya. Tidak mau memperpanjang masalah Muti memaafkannya lalu pamit untuk pulang.
Sementara Rico masih mematung di pinggir jalan tadi sambil memperhatikan Muti berjalan hingga hilang di tikungan masuk ke gang arah rumahnya.
Sepertinya keadaan sering membuat Rico dan Muti bertemu secara tidak sengaja dan dalam situasi yang sering membuat mereka salah tingkah. Seperti halnya hari ini, sekalipun hari libur. Secara tidak sengaja mereka bertemu di toko buku.
“Mbak, nggak mungkin kartu kredit saya nggak bisa dipake” debat Rico saat di kasir di toko buku tersebut.
“Tapi mas, kenyataannya seperti itu. Tidak bisa digunakan karena telah diblokir” tegas kasir itu lagi.
“Pasti Papa” gumam Rico.
“Sekalian dengan ini saja, Mbak” timpal seorang gadis.
Rico kaget, karena merasa kenal dengan suara itu. Dan saat menoleh, benar saja tebakan Rico bahwa gadis itu adalah Muti.
“Lo?” reflek Rico memecah kekagetannya.
“Iya” jawab Muti sambil tersenyum.
Saat keduanya berjalan keluar, timbul rasa canggung pada Rico. Dia jadi kikuk, tidak tahu apa yang harus dikatakannya pada Muti. Sampai akhirnya ketika tiba di luar toko Rico mampu membuka mulutnya.
“Muti, ehm..thanks ya. Besok gue ganti duitnya” ujar Rico.
“Sama-sama Rico” Jawab Muti tanpa lupa memberikan senyum manisnya. “Yaudah, aku pulang dulu ya. Assalamu’alaikum” Pamit Muti ke Rico
“Muti” Panggil Rico tiba-tiba saat Muti hendak meninggalkannya.
Muti menghentikan langkahnya dan menoleh “Iya Rico? Ada apa lagi?”
“Gue anterin lo pulang ya?” Tawar Rico dengan tidak yakin.
“Hmmm..” Muti pun ragu.
“Gue nggak pake motor kok. Gue bawa mobil jadi masih ada jarak, lagi juga kan di jalan rame jadi nggak mungkin gue ngapa-ngapain lo” Rico mencoba meyakinkan Muti.
“Baiklah, semoga ini bisa jadi awal perdamaian kita. Atau mungkin kita bisa bersahabat” Jawab Muti sambil tersenyum manis.
Mereka berjalan beriringan menuju mobil Rico. Sepanjang perjalanan pulang Rico mencuri-curi pandang ke Muti tanpa  sepengetahuan Muti. Dan dia sadar bahwa ada perasaan lain yang kini menggelayuti hatinya, perasaan yang belum pernah dia rasakan sebelumnya pada perempuan mana pun. Dan ini yang dia sebut dengan jatuh cinta. Cinta pertamanya, yang tidak pernah dia bayangkan bahwa dia akan jatuh cinta pada gadis lugu dan kalem seperti Mutiara Annisa, gadis yang agamis, yang sangat bertolak belakang dengan dirinya yang yah begitulah. Mana mungkin dia bisa memikat hati Muti bila dia sendiri tahu bahwa jauh dari kata baik sebagai seorang manusia.
Setiap harinya hanya diisi dengan bikin onar dan kenakalan lainnya. Dia sendiri mulai berpikir kenapa dia jadi liar seperti itu semenjak kepergian Mamanya. Kenapa dia harus mencari perhatian dari Papanya dan orang lain dengan cara yang seperti itu. Dia mulai sadar bahwa caranya bukan menjadikan dia diperhatikan tapi justru menjadikan dia semakin dijauhi oleh banyak orang.
Bahkan kini Papanya tega memblokir kartu kreditnya, dia sadar bahwa pasti banyak uang hasil keras Papanya yang telah dia hamburkan. Untuk berfoya-foya, bahkan tidak hanya satu atau dua kali dia gunakan uangnya itu untuk taruhan balapan liar.
“Rico..Rico..” Panggil Muti “Rico!” Panggil Muti sedikit lebih keras.
Ciiiiiit..tanpa sadar Rico ngerem mendadak
“Aduh” Rintih Muti karena seatbeltnya mengencang saat dia maju kedepan Karena Rico ngerem mendadak tadi
“Maaf.. Maaf.. Lo nggak papa kan? Sorry gue nggak sengaja, gue kaget tadi denger lo manggil gue. Kenapa?” Rico merasa tidak enak pada Muti.
“Nggak kok, aku nggak papa. Kamu sendiri kenapa kamu ngelamun?” sahut Muti.
“Nggak kok. Eh Muti, boleh nggak kalo kita mampir dulu ke suatu tempat?” Tanya Rico.
“Mau kemana memangnya?” Tanya Muti hati-hati.
“Cuma ke taman di deket Balaikota kok. Gimana?” tawar Rico lagi.
“Iya nggak papa” Muti menerima tawaran Rico dengan halus dan senyum manis khas dirinya.
Tanpa disadari Rico membalas senyum Muti yang membuat Muti menggumam bahwa Rico tidak sebrutal yang dilihatnya selama ini. Masih ada sisi manis dan baiknya dalam diri Rico, buktinya hari ini dia bisa melihat senyum tulus Rico dan bahasa bicara Rico yang tidak meledak-ledak.
Saat tiba di taman tak banyak yang mereka obrolkan, justru lebih banyak diam. Tapi Rico sempat bercerita tentang kondisi keluarganya pada Muti yang membuat Muti paham alasan Rico terkenal brutal selama ini.
Sejak hari itu kedekatan Rico dan Muti semakin intens, sehingga menimbulkan kecurigaan pada Luna. Akhirnya Luna memberanikan diri untuk bertanya pada sahabatnya, ada apa sebenarnya antara Muti dan Rico.
“Alhamdulillah, selesai juga tugas kita” ujar Muti lega.
“Iya,akhirnya ya Mut.. Eh,boleh nggak gue nanya sesuatu sama lo?” Sahut Luna yang dilanjutkan dengan pertanyaan.
“Iya Luna,nanya aja”
“Sebelumnya maaf ni ya kalo gangguin privasi lo, tapi gue beneran kepo. Ya abis lo nggak pernah cerita sama gue sih, katanya sahabat tapi ada rahasia besar lo diem aja sama gue.”
“Mau protes apa mau nanya? Kok panjangan protesnya?”
“Hahaha..iya ya? Ok.. Ok.. Gue mau nanya. Sebenarnya ada apa sih antara lo sama Rico? Lo pacaran ya sama dia? Soalnya ni ya kalo gue perhatiin semakin lama lo tu semakin akrab sama dia. Tapi gue juga aneh, kan lo pemegang paham anti pacaran ya? Sekarang kok lo malah deket banget sama cowok tengil yang dikenal paling bengal di sekolahan, nggak masuk akal aja gitu menurut gue. Lo wajib buat jelasin ke gue, gue nggak perduli kalo lo nganggep gue terlalu ganggu privasi lo tapi kan..” cerocosan Luna dipotong sama Muti.
“STOP!! Kalo kamu ngomong terus nah kapan aku ngomongnya? Kapan aku jelasinnya?” potong Muti kalem.
“Hehehe” yang dipotong omongannya cuma nyengir kuda.
“Ini aku cerita cuma sama kamu ya? Aku deket sama Rico karena aku tahu latar belakang Rico, kenapa Rico jadi Bengal kayak gitu, tapi sebenrnya nggak gitu kok. Dia baik, dia care, dia sopan banget,…..” Muti menjelaskan panjang lebar tentang kedekatannya dengan Rico pada sahabat tersayang.
Tiba pada bulan ketiga dalam kedekatan Rico dan Muti. Pada suatu kesempatan Rico mengajak Muti ke padang ilalang di suatu sore yang cerah. Tanpa berpikir macam-macam Muti menerima ajakan Rico dan sesuai rencana, Rico akan mengungkapkan perasaannya pada Muti. Dia telah siap dengan kemungkinan terburuk, jawaban yang nggak pernah mau dia dengar dari Muti tapi paling tidak dia telah mencoba.
“Mau ngomong apa sih? Kenapa harus kesini?” Buka Muti membuka kesunyian setelah nyaris setengah jam mereka hanya diam sambil menikmati pancaran matahari sore.
“Eh iya..malah keasyikan nikmatin suasana jadi lupa kalo tadi kesini niatnya mau ngobrol sama kamu” Sahut Rico mencoba menghilangkan rasa gugupnya.
“Kamu? Sejak kapan kamu berbahasa aku kamu? Tapi aku suka, kamu jadi lebih kelihatan kalem” Jelas Muti sambil tanpa pernah melupakan senyumnya.
”Aku pengen berubah Mut, kamu mau bantu aku nggak?” Ucap Rico lirih dan tersenyum malu.
“Tentu aku mau bantu, Rico, aku seneng malah dengernya. Lagi juga selama kita deket juga aku nggak pernah ngrasa kamu kasar kok. Kamu baik lagi, tapi kalo kamu mau jadi yang lebih baik ya tentu aja aku dukung kamu” Muti antusias akan keinginan Rico.
“Apa salah kalo perubahan aku itu didasari atas rasa cintaku yang mulai tumbuh buat kamu?”
”Nggak salah kok Rico, tapi kamu jangan pernah berubah demi aku atau orang lain. Aku maunya kamu berubah karena diri kamu sendiri” Muti terkejut, mencoba menata kalimat jawabannya agar jawabannya tidak menyinggung perasaan Rico.
“Aku tahu itu. Itu makanya aku ingin bener-bener berubah agar aku merasa pantas untuk bersanding dengan kamu. Apa kamu mau mendampingi aku? Melihat perubahanku? Hingga tiba saatnya nanti kita..” Kalimat Rico langsung dipotong oleh Muti.
“Iya Co, aku mau. Aku akan selalu ada buat kamu, buat dukung perubahanmu” Tersenyum melihat Rico.
Semenjak hari itu, banyak hari yang mereka lalui berdua. Rico banyak belajar tentang agama pada Muti. Rico juga belajar untuk menjadi pribadi yang lebih tenang, tidak selalu terbawa amarah, sudah jarang keluyuran malam. Karena tiap malam selalu dia usahakan untuk berkumpul bersama Muti dan Luna untuk menyeleseikan tugas sekolah dan memfasihkan gerakan juga bacaan shalatnya.
Kedekatan Muti dan Rico pun mulai terdengar di anak-anak Rohis, tidak terkecuali ketua Rohis. Dalam beberapa kali rapat Muti selalu didiamkan oleh teman-teman dalam organisasi tersebut. Muti beberapa kali bertanya pada temannya di organisasi tersebut tapi mereka justru meminta Muti untuk merenungkan sendiri kesalahannya. Dan sampai pada akhirnya dia tahu apa yang membuat dia dijauhin oleh teman-teman Rohis. Kini muncul dilema dalam diri Muti, sementara niatnya untuk membantu Rico belum sepenuhnya terlaksana tapi reaksi teman-teman Rohis sudah begitu hebat.
Bukannya Muti tidak ingin cerita pada teman-teman Rohis, hanya saja Muti tidak ingin Rico merasa bahwa dia tidak tulus membantu, karena bukan hal tidak mungkin akan sampai di telinga Rico bahwa Muti membantu Rico atas nama Rohis. Muti tulus membantu perubahan Rico, dia ingin melihat Rico seperti dulu. Dia ingin mewujudkan harapan Rico untuk bisa menjadi Rico yang dulu, dia ingin membantu Papanya bangga lagi pada Rico akan prestasi-prestasinya seperti dulu.
Dan dalam masa perubahan Rico, ternyata ada pihak yang hendak memanfaatkan kelemahan Rico saat ini. Mereka tahu bahwa sekarang Rico tidak lagi balapan liar, merasa dendamnya belum terbalas dia berniat untuk menantang Rico dan beberapa rencana licik pun telah disiapkannya.
“Co,lo masih inget nggak sama Panca?” Tanya Ibas di waku istirahat.
“Panca? Anak SMA swasta yang pernah gue kalahin balapan dulu itu?” tebak Rico.
“Iya, dia nantangin lo lagi tu. Katanya mau balas dendam karena kekalahannya dia dulu”.
“lo bilang aja sama dia kalo gue nolak tantangannya. Gue udah nggak mau balapan-balapan gitu lagi. Gue udah janji sama diri gue sendiri kalo gue nggak mau hal-hal buruk lagi”.
“Tapi Co..”
”Nggak ada tapi-tapian. Seklai gue bilang nggak ya nggak” Memotong ucapan Ibas kemudian berlalu meninggalkan Ibas.
Tapi sebelum Rico jauh, Ibas mengejar Rico dan berbisik “Dia ngancem kalo lo nolak akan terjadi apa-apa sama Muti”
Rico menghentikan langkahnya,”gue terima tantangan dia”
Tak dipungkiri, muncul rasa bersalah dalam diri Rico karena dia terpaksa menerima tantangan Panca untuk balapan, hanya karena dia tidak ingin terjadi apa-apa pada Muti. Dia ingin selalu melindungi Muti.
Tapi di sisi lain, Muti pun mengalami dilema yang sama. Apa yang harus dia jelaskan pada teman-teman Rohisnya. Dia hanya mampu menangis di pelukan Luna sahabatnya, tak banyak yang bisa Luna lakukan kecuali meminta sahabatnya untuk terus bersabar.
Tiba pada hari di mana Rico menerima tantangan dari Panca. Tak pernah Rico bercerita tentang hal ini pada Muti karena ia tak ingin membuat Muti kecewa, begitu pun Muti tak pernah bercerita pada Rico tentang apa yang dialaminya karena Muti tak ingin membuat Rico kecewa dan mejauh darinya, hingga bisa saja membuat Rico kembali pada pergaulannya dulu.
Hari di mana Rico menerima tantangan dari Panca ternyata juga menjadi hari di mana Muti harus menjalani sidang bersama dengan ketua Rohis dan pengurus Rohis yang lain.
“Muti, sekarang jelaskan kepada kami. Kenapa kamu menjalin hubungan dengan laki-laki yang kamu sendiri paham bahwa dia bukan mahrammu?” Tanya Fadlan sang ketua Rohis tanpa basa-basi.
“Maaf Kak, bukannya kita boleh berteman dengan siapa saja ya? Saya juga tidak pernah menyatakan bahwa saya berpacaran dengan Rico karena saya sadar bahwa dia bukan mahram saya. Itu kenapa setiap saya dan dia belajar bersama saya selalu minta ditemani oleh Luna. Karena saya tidak ingin menimbulkan fitnah” jawab Muti tegas sambil mencoba menjelaskan.
“Lalu kenapa sampai timbul gosip yang tidak mengenakkan tentangmu hingga membawa-bawa nama Rohis, tidak akan ada asap jika tak ada api” Tanya Fadlan lagi.
“Baiklah Kak, mungkin sebaiknya saya jujur agar masalah ini tidak berlarut. Saya hanya mencoba membantu Rico berubah, Rico ingin menjadi lebih baik dan kebetulan kami sering bertemu dengan tidak sengaja. Rico merasa bahwa saya bisa membantunya, itu sebabnya saya menyanggupinya. Rico tidak ingin dianggap cari perhatian itu makanya kenapa dia tidak ingin banyak orang tahu apa yang menjadi keinginannya, karena semakin banyak yang tahu akan semakin besar godaannya dan mungkin saja bisa membelokkan niatan awalnya dia. Hanya sekedar itu Kak, saya tahu Kak, saya salah. Saya siap menerima hukuman dari Kakak sebagai ketua dan pengurus yang lain. Saya minta maaf, tapi itu tidak akan menyurutkan niat saya untuk terus membimbing Rico, maafkan saya yang keras kepala Kak” jawab Muti sembari pasrah pada keputusan ketua Rohis.
Tiba-tiba Luna datang tanpa mengetuk pintu dan main masuk ruang sidang begitu saja. Dengan nafas tersengal-sengal dia minta maaf pada seluruh yang hadir pada sidang tersebut. Tanpa menunggu jawaban dari pengurus Rohis, Luna langsung menarik tangan Muti dan meninggalkan ruang sidang.
“Luna, kamu apa-apaan sih. Sikap kamu ini bisa buat aku dikeluarin dari Rohis, tadi baru saja aku mau dengar keputusan mereka tentang nasib aku, tapi kamu malah…”ucapannya terpotong oleh Luna.
“Rico kecelakaan!” sergah Luna memotong perkataan Muti.
Menghentikan langkahnya. Berdiri mematung.
“A..apa? Apa kamu bilang Lun?” Tanya Muti tak percaya.
“Rico kecelakaan, tadi gue dikabarin sama Ibas. Karena katanya HP lo nggak aktif” jelas Luna perlahan.
“Nggak mungkin.. Nggak mungkin.. Apa Rico bohong sama aku? Bilang sama aku Lun, kalo Rico kecelakaan bukan karena dia ikut balapan liar” Tanya Muti berderai air mata.
“Kalo itu gue masih belum tahu Mut, sebaiknya sekarang kita ke RS. Katanya kondisi Rico lumayan parah” jawab Luna sembari menenangkan sahabatnya.
Di sepanjang perjalanan menuju Rumah Sakit, tak henti-hentinya Muti berdoa untuk keselamatan Rico, tak berhenti pula air matanya menetes, dia terus beristighfar agar ditenangkan hatinya. Tak sabar ia ingin segera sampai di Rumah Sakit dan menyaksikan sendiri bagaimana keadaan Rico.
Sesampainya di Rumah Sakit, Muti langsung menuju ICU, ruang di mana Rico dirawat. Dia tidak bisa masuk karena Rico masih harus diperiksa intensif, melihat Ibas yang duduk dengan kepala tertunduk, Muti menghampirinya. Ibas kaget begitu tahu Muti duduk di sampingnya. Dia tahu apa yang akan Muti tanyakan padanya. Dan benar saja, maka Ibas menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.
Setelah mendengar cerita Ibas, Muti mencoba paham, tapi dia masih tidak habis pikir dengan kecerobohan Rico menerima tantangan itu. Masih mencoba menenangkan pikiran dan hatinya, sambil memejamkan mata dan terus beristighfar serta berdoa untuk keselamatan Rico, tanpa sadar yang disebelahnya bukan lagi Ibas melainkan Papanya Rico.
“Muti” sapa Papa Rico.
“Eh Om, iya Om, maaf.. Maaf..” Muti membuka matanya dan membenarkan letak duduknya.
“Maaf mengganggu, sedang tidur ya?” Tanya Papa Rico merasa tidak enak.
“Tidak Om, saya tidak sedang tidur. Bagaimana keadaan Rico Om?” Tanya Muti kemudian.
“2 tulang rusuknya patah, kaki kanannya juga, terjadi perdarahan cukup besar di kepalanya, dan mengalami gegar otak ringan. Sementara itu vonis yang diberikan dokter, masih belum tahu kapan Rico bisa sadar dari komanya” jawab Papa Rico lemah.
“Astaghfirullah..sabar Om, semoga Rico diberikan umur panjang. Semoga Rico cepat sadar” Ujar Muti mencoba menenangkan Papa Rico.
“Aamiin. Terimakasih ya Muti” Yang langsung tersenyum sambil menatap Muti
Canggung dengan tatapan dari Papa Rico, Muti menundukkan kepalanya “Terimakasih untuk apa Om?”
“Karena kamu Rico kembali menjadi Rico yang dulu, sebelum Rico kehilangan Mamanya”
“Bukan karena saya, Om, tapi Rico berubah karena memang Rico mau. Saya hanya memberikan support saja.
“Karena kamu selalu ada untuk membantu dia. Dan sekarang Om bertemu langsung dengan kamu, ternyata kamu jauh lebih cantik jika dibandingkan di foto”
Muti tersenyum malu “Terimakasih Om”
Sudah 2 minggu Rico mengalami koma. Masih belum ada tanda-tanda bahwa dia akan sadar dari komanya. Tak pernah absen Muti menenguk Rico di Rumah Sakit, walaupun hanya bisa mengintip dari kaca pintu, namun sudah membuat Muti sedikit lega bahwa dia masih bisa melihat raga Rico terbaring di dalam ruang ICU.
Tak pernah putus doa dia panjatkan. Muti mulai merasa harinya jadi sedikit sepi, mulai terbiasa dengan keberadaan Rico di hari-harinya. Bersama Luna dan Rico semakin memberikan warna dalam hidup Muti. Muti pun wanita biasa, dia remaja normal yang juga mulai merasaka hadirnya perasaan lain bagi Rico, namun dia tahu bagaimana agamanya mengajarinya untuk dapat menahan rasa tersebut. Untuk tidak terjerat pada kubangan cinta palsu yang berdiri dan mengikrarkan diri dalam lingkaran pacaran. Tidak. Tidak akan pernah mau Muti melanggar ajaran agamanya.
Di lain sisi, Muti lega karena kasus kecelakaan Rico terungkap. Bahwa kecelakaan Rico disengaja oleh Panca, cowok dari SMA swasta yang menantang Rico balapan dengan niat balas dendam.
Sama seperti hari-hari sebelumnya. Sepulang sekolah Muti ke Rumah Sakit untuk menjenguk Rico. Tapi betapa terkejutnya dia ketika dia tidak melihat Rico di ruang ICU. Muti mulai panik, dia segera berlari ke ruang informasi.
“Rico” panggil Muti begitu membuka pintu ruangan tempat Rico dipindahkan.
“Muti” ucap Rico dan Papanya bersamaan.
Muti berjalan mendekati ranjang “Maaf.. Assalamu’alaikum” Sedikit malu.
“Seharusnya Om yang minta maaf, kamu pasti panik ya melihat Rico sudah tidak ada di ruang ICU? Maaf karena Om tidak kabarin kamu, takutnya ganggu kamu di sekolah. Dan malah Om keasyikan ngobrol sama Rico pas udah jam siang jadi Om lupa kabarin kamu deh” Papa Rico menjelaskan panjang lebar.
“Tidak apa-apa Om, bukan salah Om kok. Saya malah senang karena tahu kalau Rico sudah dipindah ke ruang rawat” Sahut Muti masih dengan wajah malu.
Tidak berapa lama mereka terlibat dalam obrolan asyik. Suasana makin ramai dengan kehadiran Ibas dan Luna. Tak hentinya mereka membuat kehebohan dengan gaya kocak mereka.
Di tengah obrolan seru kami, aku bersyukur pada Allah yang telah mengabulkan doaku, doa Papa Rico dan doa teman-teman kami agar Rico diberi kesembuhan dan keselamatan. Hingga kini kami dapat benar-benar berkumpul bersama lagi seperti dulu.
Tiga hari kemudian Rico sudah diperbolehkan pulang. Muti, Luna, dan Ibas meyiapkan kejutan untuk Rico di rumahnya. Ketika sampai di rumah betapa bahagianya mereka melihat rona bahagia di wajah Rico. Di sela pesta sederhana itu Rico mengajak Muti untuk berbincang berdua di teras belakang.
“Terimakasih” Rico membuka pembicaraan.
“Untuk?” Tanya Muti heran.
“Untuk semuanya, karena kamu udah mau bantu aku untuk berubah, karena kamu udah bikin aku akur lagi sama Papa, karena kamu mau berkorban untuk membantuku padahal resikonya adalah kamu harus dikucilkan oleh teman-teman Rohis kamu”
Muti tersenyum “Sama-sama Co, makasih juga karena kamu juga rela buat ngelindungin aku. Dan aku juga mau minta maaf sama kamu”
“Aku yang seharusnya minta maaf sama kamu. Karena aku seperti membuatmu melanggar komitmenmu terhadap agama kita. Aku benar-benar cowok yang nggak gentle karena berani mengajak kamu pacaran, seharusnya aku menahan perasaanku itu hingga tiba waktunya nanti ketika aku telah matang secara usia dan mental” urai Rico panjang lebar.
“Aku tidak pernah merasa pacaran sama kamu. Aku tidak pernah bilang bersedia jadi pacar kamu kan? Aku hanya bilang bahwa aku bersedia mendampingi kamu dalam niatan kamu untuk berubah menjadi lebih baik” jelas Muti tanpa ada maksud untuk menyakiti perasaan Rico.
“Jadi kita masih bisa bersahabat kan?”.
“Tentu”.
“Sampai tiba waktunya nanti aku berani melamar kamu. Dan jika Allah memberikan restu untuk kita berjodoh tentunya”.
“Rico, itu masih panjang waktunya. Mendingan sekarang kamu fokus buat pulihin kondisi kamu dan kita bareng-bareng buat sukses dulu”.
“Tapi kan optimis nggak salah?”.
“Iya Rico, kan jodoh nggak kemana” Muti tak dapat menyembunyikan rona malunya.
Dan mereka membiarkan masa depan mereka menjadi misteri yang harus mereka perjuangkan.
TAMAT




Kisah Ini

KISAH INI
masihkah Tuhan menyisakan tinta emasnya untuk menuliskan kisah kita?
aku,kamu,kita
aku dengan kisahku
kau dengan ceritamu
berbeda dan tak pernah sama
tapi aku tanpa kamu
layaknya dunia tanpa koma
seperti pantun tanpa sajak
bagai lirik tanpa nada
dekap aku,aku ingin berkisah tentang sedihku
sandarkan kepalamu,mulailah bercerita tentang penatmu
rengkuh aku
erat,erat dan makin erat
jangan lepas
karena aku,kamu,kita itu satu

Hujan Awal November

HUJAN AWAL NOVEMBER
hujan di awal november ini
mengingatkanku akan cerita lama
ku buka lagi lembaran buku lusuh dari kotak berdebu
banyak tawa
tak sedikit pula tangis
semua terangkum dalam cerita
hujan di awal november
masih ku ingat kala aku pilu terbalut sembilu
ada juga torehan suka penuh tawa
aku menerawang ke belakang
begitu banyak tangis di hujan di awal novemberku dulu
ku tutup lagi lembaran lusuh itu
kembali mendengarkan gemericik hujan
penuh harap
gemericik hujan itu bukan lagi tetesan air yang mengiringi tangisku
tapi dendang kebahagiaan
rintik hujan yang berlompatan dan menari
Semarang, 10 November 2014